ISI BUKU MANUSIA DAN TANAH: KEHILANGAN DAN KOMPENSASI DALAM KASUS LAPINDO Anton Novenanto1 Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: The paper is trying to discuss on how land forms social relation and what happens when the relation is forced to be ended. Two types of social relationship will be discussed. They are human-human and human-land relationship. The two relations are getting more sophisticated due to the lost of land. Based on Lapindo case, the discussion on how the compen- sation is given to those undergoing the lost of land. This causes a new problem. There is a unique relation between man and his land- that is not only the relation on economic value but also on cultural value. This paper, later on, is offering the agrarian reflective thinking on the lost of land and its compensation. KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: land, compensation, lost, sense of belongs, Lapindo case AbstrakAbstrakAbstrakAbstrakAbstrak: Artikel ini membahas bagaimana tanah membentuk relasi sosial dan apa yang terjadi bila relasi itu diputus paksa. Artikel ini mengangkat dua jenis relasi sosial, yaitu relasi antar-aktor manusia dan antara manusia dengan tanah. Kedua relasi tersebut semakin kompleks seiring dengan hilangnya tanah secara paksa. Berangkat dari kasus Lapindo, artikel ini mendiskusikan bagaimana “kompensasi” yang diterapkan untuk mengganti “kehilangan” yang dialami manusia justru memunculkan permasalahan baru. Argumen yang diangkat sangat umum, bahwa relasi manusia dengan tanahnya sangat unik karena pada tanah manusia tidak hanya melekatkan nilai ekonomi tapi juga nilai sosial dan budaya. Dengan demikian, artikel ini hendak menawarkan bahan refleksi bagi studi agraria untuk memikirkan kembali tentang konsep “kehilangan” dan “kompensasi” atas tanah. Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: tanah, kompensasi, kehilangan, rasa memiliki, kasus Lapindo A. Pendahuluan Bagaimana rasanya kehilangan? Pada sebuah perjumpaan, saya bertanya pada seorang informan perempuan korban Lapindo tentang apakah dia menyimpan foto rumah lamanya yang tenggelam dalam luapan lumpur. Sang informan yang sebelumnya bergelora menyampaikan pada saya tentang ketidakadilan yang bertubi-tubi Untuk semua yang sudah kamu hilangkan, kamu memperoleh sesuatu; dan untuk semua yang sudah kamu peroleh, kamu kehilangan sesuatu. – Ralph Waldo Emerson menderanya selama menuntut haknya sebagai korban Lapindo, sebagai warganegara yang terabaikan, tiba-tiba terdiam. Air matanya menetes, dia menangis. Saya tidak tahu apa yang dipikirkannya sekaligus khawatir atas apa yang akan terjadi bila berusaha menenangkannya. Saya memilih diam, menunggu. Setelah emosinya mereda, dia mulai bercerita bahwa semua foto rumah lama mereka, disembunyikan suaminya. Alasannya, sang suami tidak ingin melihatnya menangis begitu teringat rumah mereka yang sudah terendam lumpur. Sang suami memutuskan menyembunyikan seluruh foto rumah mereka dan 1 Penulis adalah pengajar pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya, Malang; kandidat doktor pada Institut für Ethnologie, Ruprecht-Karls- Universität Heidelberg, Jerman; dapat dihubungi di nino@ub.ac.id Diterima: 3 April 2015 Disetujui: 30 Mei 2015Direview: 21 Mei 2015 2 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015 berusaha memutus segala kenangannya atas rumah itu. Sang informan melanjutkan cerita tentang biaya pembangunan rumah yang diperolehnya dari hasil keringatnya selama bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di Hong Kong. Setiap bulan dia menyisihkan sebagian upahnya untuk dikirim kepada sang suami guna membangun rumah di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Setelah rumah itu berdiri, dia pulang ke Indonesia, kembali bergabung bersama suami dan anaknya. Tapi belum genap dua tahun dia meng- huninya, lumpur Lapindo menyembur dan menenggelamkan rumah hasil jerih payahnya itu. Dalam kasus konf lik/sengketa agraria, kita sering menjumpai gagasan bahwa kompensasi atas tanah perlu mempertimbangkan faktor sosial dan budaya dari tanah tersebut. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, kompensasi atas tanah tidak pernah melampaui fungsi tanah sebagai “komoditas” yang punya nilai tukar dengan mengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP) yang berlaku di suatu daerah. Jual beli adalah praktik yang umum dan juga diberlakukan pada korban Lapindo, nilai kompensasi yang diterima korban dihitung berdasarkan luas tanah dan bangunan yang dimilikinya. Praktik semacam ini mengandung beberapa permasalahan mendasar. Pertama, penerima kompensasi adalah “pemilik aset,” orang yang namanya tertera di atas sertif ikat tanah dan bangunan, yang belum tentu menghuninya. Kedua, kompleksitas problem semakin berlipat karena sebagian besar warga hanya berpegang pada berkas ekstra-legal (letter C atau pethok D) dan tidak memiliki sertipikat “resmi” (keluaran BPN) atas aset tersebut itu. Ketiga, mengacu pada UUPA 5/1960, setiap petak tanah yang dibeli perusahaan (termasuk Lapindo) status kepemilikannya akan menjadi “tanah negara,” yang memunculkan pertanyaan serius sehubungan dengan rencana pemerintah “menyita” tanah tersebut sebagai jaminan memberi pinjaman pada Lapindo. Dari kisah informan di awal tadi, kita menda- patkan contoh riil tentang bagaimana manusia melekatkan pada objek lebih dari sekadar nilai ekonomis atas fungsinya sebagai komoditas yang memiliki nilai tukar. Pada tanah, manusia mele- katkan nilai sosial dan budaya yang tak dapat semudah itu hilang dan justru semakin meningkat menyusul hilangnya. Oleh karenanya, kita tidak berbicara sekadar tentang hilangnya tanah sebagai objek, namun juga “perasaan kehilangan.” Artikel ini merepetisi argumen Stuart Kirsch tentang “(perasaan) kehilangan,” yang seperti halnya “(perasaan) memiliki,” adalah manifestasi dari relasi sosial (2001a, 168–9). Mengambil contoh kasus Lapindo, artikel ini hendak mengangkat bahwa “perasaan kehilangan” cenderung menguat akibat pemutusan paksa manusia dari tanah huniannya. Cerita informan dalam paragraf pembuka hanyalah satu dari pelbagai kisah yang dapat ditemukan pada kasus pemindahan paksa di tempat lain (bdk. Oliver-Smith 2010). Belajar dari kasus Lapindo, artikel ini hendak menawarkan sebuah bahan refleksi yang mungkin berguna bagi peminat studi agraria untuk memikirkan kembali tentang “kehilangan” dan “kompensasi” atas tanah. B. “Kompensasi” bagi Korban Lapindo2 Sepanjang sejarah berdirinya republik ini mungkin tidak ada f itur ekologi yang lebih menarik dikaji dengan kacamata politik-ekologi diban- dingkan kemunculan lumpur panas di Porong, Jawa 2 Bagian ini hanya memberi gambaran sekilas ten- tang kasus Lapindo untuk memberi konteks relasi ma- nusia dan tanah yang akan dibahas. Di antara beragam literatur yang membahas tentang kasus Lapindo, ada beberapa yang layak dipertimbangkan berdasar tema: dampak ekonomi dan ekologi (McMichael 2009), politik-ekonomi (Batubara & Utomo 2012; Schiller et al 2008), identitas korban (Drake, 2012, 2013), konstruksi media massa (Novenanto et al 2013), organisasi non- pemerintah (Hamdi, Hafidz, & Sauter 2009). Bagi pembaca yang berniat untuk menelusuri kasus Lapindo disarankan untuk merujuk literatur tersebut. 3Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11 Timur. Lumpur Lapindo adalah gunung lumpur3 terbesar di dunia; yang pertama diterima manusia sebagai “bencana” (Novenanto 2010). Sejak lahirnya, pada 29 Mei 2006, lumpur Lapindo telah menenggelamkan lebih dari 800 hektar wilayah terdiri dari kawasan permukiman, lahan pertanian, pabrik, sekolah, masjid, dan fasilitas publik lainnya. Pada setahun pertama, pemerintah menghitung kerugian ekonomi makro yang diderita mencapai Rp.28,3 trilyun (BPK 2007; Bappenas 2007). Penanganan bencana lumpur Lapindo menjadi lebih rumit daripada bencana yang lain karena banyak orang meyakininya sebagai “antropogenik,” disebabkan oleh kelalaian Lapindo Brantas Inc saat melakukan pengeboran sumur gas alam Banjar Panji 1. Sementara itu, Lapindo dan pemerintah berusaha untuk menggiring opini publik pada pemahaman bahwa lumpur itu muncul secara “alamiah,” dipicu oleh gempa bumi. Lapindo adalah satu anak perusahaan Grup Bakrie dan posisi ini menguntungkan Lapindo. Posisi strategis Aburizal Bakrie, f igur penting keluarga Bakrie, adalah kunci bagi Lapindo menghadapi krisis akibat lumpur itu (Schiller, Lucas & Sulistiyanto 2008). Saat semburan, Aburizal duduk sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2004-2009) dan sekalipun tidak lagi duduk di kabinet sejak 2009, Aburizal terpilih sebagai ketua umum Partai Golkar. Dengan posisi semacam itu, sangat mudah bagi Aburizal untuk mengin- tervensi politik bencana lumpur Lapindo melalui penempatan kader Golkar di eksekutif maupun di legislatif (Novenanto 2015). Selain itu, Grup Bakrie adalah induk dari sebuah stasiun televisi berita besar di Indonesia, TVOne, yang semakin memu- dahkan Lapindo mengendalikan opini publik tentang kelalaian yang dilakukannya di Banjar Panji 1 (Andriarti & Novenanto 2013). Sampai sekarang, semburan lumpur Lapindo dan permasalahan yang melekat pada dan diakibatkan olehnya belum juga berakhir. Para ahli geologi memperkirakan bahwa lumpur masih akan terus menyembur dalam volume yang sama sampai tiga dekade dan masih akan terus keluar dengan jumlah lebih kecil selama ratusan tahun lagi (Davies, Mathias; Swarbrick & Tingay 2011). Sementara itu, tanah di sekitar semburan terus mengalami amblesan (Abidin, Davies; Kusuma, Andreas; & Deguchi 2009) mengakibatkan degradasi kualitas tanah di wilayah yang lebih luas lagi. Kini, luapan lumpur Lapindo telah menga- kibatkan pengosongan wilayah yang mencakup 15 (lima belas) desa/kelurahan di tiga kecamatan di Kabupaten Sidoarjo, yang merupakan hunian bagi lebih dari 150.000 penduduk. Kelima belas desa/ kelurahan itu adalah: Gempolsari, Kedungbendo, Kalitengah, dan Ketapang di Kecamatan Tang- gulangin; Renokenongo, Glagaharum, Siring, Gedang, Jatirejo, Mindi, dan Porong di Kecamatan Porong; serta Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki di Kecamatan Jabon. Para penduduk harus mencari hunian baru dan membuka lembaran baru kehidupannya, bersamaan dengan itu mereka juga harus mengatasi perasaan kehilangan tanah yang terbenam lumpur. Sebagai pengganti kerugian dan kehilangan yang dideritanya, warga mendapatkan “kompen- sasi” yang bentuk dan besarannya muncul dari penghitungan spontan Wakil Bupati (sekarang Bupati Sidoarjo Saiful Ilah) pada pertengahan Sep- tember 2006 (Karib 2012, hlm. 67–68). Konteksnya, ada kebutuhan mendesak untuk membangun tanggul di Desa Jatirejo agar luberan lumpur tidak meluas. Saiful, dikawal oleh aparat militer, 3Gunung lumpur (mud volcano) adalah fenomena alam yang jamak ditemui di bumi ini. Keberadaannya selalu berdekatan dengan sumber-sumber hidrokarbon (minyak dan gas bumi) (Higgins & Saunders 1974). Berdasarkan catatan kolonial, di Pulau Jawa sendiri ter- catat beberapa gunung lumpur yang dinamai oleh pen- duduk lokal “bledug.” Salah satu yang paling terkenal mungkin Bledug Kuwu di Grobogan, Jawa Tengah (Goad 1817). 4 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015 menemui 12 (dua belas) warga Jatirejo dan mem- bujuk mereka untuk menjual tanah dan rumahnya untuk keperluan penanggulan itu. Dia menawar- kan harga satu juta rupiah per meter persegi tanah kering dan 1,5 juta rupiah per meter persegi bangunan. Alasannya, harga itu sudah jauh di atas rata-rata ketentuan pemerintah untuk mengom- pensasi pembangunan ataupun bantuan bencana. Warga yang berada di bawah ancaman f isik dari lumpur panas dan tekanan psikologis dari pemerintah tak punya pilihan lagi selain menerima tawaran tersebut. Informasi tentang transaksi aset kedua belas warga itu menyebar luas ke korban lainnya dan desakan mereka menuntut “kompensasi” dari Lapindo semakin menguat. Negosiasi berlangsung alot dan baru pada awal Desember 2006 usaha tersebut berbuah hasil. Melalui surat yang ditujukan pada Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Panas Sidoarjo (Timnas), tertanggal 4 Desember 2006, Lapindo menyatakan kesang- gupannya untuk memenuhi tuntutan warga itu sebagai bentuk “kepedulian sosial dan tanggung- jawab moral” perusahaan. Lapindo akan “membeli” aset (tanah dan bangunan) warga didasarkan pada penghitungan nilai tukar yang berlaku pada dua belas warga Jatirejo dengan ditambah ketentuan nilai tukar tanah sawah sebesar 120 ribu rupiah per meter persegi. Keputusan Lapindo tersebut men- dapatkan legalitas hukum setelah keluarnya Perpres 14/2007 yang mencantumkan tentang kewajiban Lapindo “membeli” tanah dan bangunan warga (Pasal 15 ayat 1). Dengan ketentuan ini, yang diperhitungkan sebagai “korban” bukanlah manusia, melainkan aset (i.e. tanah dan bangunan). Juga, tidak ada pembedaan penghitungan berdasarkan jenis peruntukkan aset, apakah itu aset produktif atau konsumtif. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa korban, harga tanah kering sebelum lumpur menyembur rata-rata berkisar antara 75.000 dan 150.000 rupiah per meter persegi. Kalau pun ada yang lebih mahal dari harga itu biasanya karena berada di pinggir jalan besar ataupun untuk keperluan industri. Dengan demikian, nilai tukar yang ditawarkan pada warga atas aset mereka yang terbenam lumpur Lapindo jauh di atas NJOP di Porong, bahkan di Kabupaten Sidoarjo. Kenyataan ini berulang kali dilontarkan pihak Lapindo untuk mengklaim bahwa nilai tukar yang ditawarkan oleh perusahaan jauh dari harga “normal.” Perpres 14/2007 juga mengatur pembatasan tanggung jawab Lapindo hanya pada wilayah yang tercantum di dalam peta area terdampak 22 Maret 2007, sementara wilayah di luar peta adalah ke- wajiban pemerintah (Pasal 15 ayat 3). Dan begitulah adanya, seiring dengan meluasnya dampak luapan lumpur Lapindo, pemerintah merevisi Perpres 14/ 2007 dengan menerbitkan peraturan baru. Hingga tulisan ini dibuat, telah terjadi lima kali perubahan yaitu pada 17 Juli 2008 (Perpres 48/2008), 23 Sep- tember 2009 (Perpres 40/2009), 27 September 2011 (Perpres 68/2011), 5 April 2012 (Perpres 37/2012), dan 8 Mei 2013 (Perpres 33/2013). Setiap revisi menan- dakan perluasan wilayah yang akan dibeli oleh pemerintah, tidak lagi oleh Lapindo. C. Aktor, Objek, dan Kompensasi Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk membahas persoalan pertanahan. Pertama, pendekatan politik-ekologi4 yang menekankan pada peran aktor manusia dan bagaimana mereka terlibat dalam relasi-relasi kuasa memperebutkan akses terhadap tanah. Pendekatan semacam ini, yang cukup populer di kalangan peneliti persoalan agraria di Indonesia belakangan ini, saya sebut dengan “pendekatan aktor” dan cenderung bersifat sosiologis. Pendekatan ini perlu dipahami sebagai satu dimensi dalam studi politik-ekologi yang diusulkan oleh duo geografer Inggris Raymond 4 Saya sengaja menggunakan istilah “politik- ekologi,” bukan “ekologi politik” – seperti halnya saya lebih sepakat penggunaan istilah “politik-ekonomi” ketimbang “ekonomi politik.” 5Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11 Bryant dan Sinéad Bailey (1997)5 yang berangkat dari pendekatan neo-Marxist dalam menganalisis peran aktor, utamanya negara dalam pengaturan (pengubahan/pelestarian) ekologi. Selain negara, juga ada aktor lain, yaitu lembaga dan perusahaan trans dan multi-nasional, organisasi non-peme- rintahan di Dunia Pertama dan di Dunia Ketiga, dan komunitas akar rumput. Pendekatan aktor berguna untuk mengurai relasi kuasa para aktor yang dipicu oleh keberadaan objek tertentu (yakni, tanah), akan tetapi konklusi yang ditarik nyaris seragam: negara tidak pernah aktif mengatasi konflik agraria, karena terdapat motif akumulasi kapital. Alih-alih mengatasinya, negara justru membiarkan konf lik itu terus berlanjut dan menunggunya tuntas melalui meka- nisme pasar. Jika pun negara hadir, perannya cenderung represif mendukung akumulator kapital demi terlaksananya “pembangunan untuk kepen- tingan umum” sekalipun itu harus dilakukan dengan mengabaikan eksistensi masyarakat akar rumput. Solusi yang ditawarkan adalah memantap- kan posisi negara untuk bersikap tegas menun- taskan segala konflik agraria di republik ini, sebuah solusi yang, seolah-olah, menempatkan negara sebagai satu-satunya aktor yang mampu menye- lesaikan permasalahan yang ada (Afandi 2013, Aprianto 2013, Cahyati 2014a, 2014b, Rachman 2013, Tohari 2013). Dengan demikian, pendekatan aktor cenderung mengabaikan analisis tentang tanah (objek yang menjadi alasan bagi terjadinya relasi kuasa) karena pendekatan ini memfokuskan pada relasi antar- manusia dan mengabaikan pembahasan soal relasi antara manusia dan objek. Stuart Kirsch (2001b, hlm. 147) menyebut relasi antar-manusia itu sebagai “transaksi” dan relasi manusia dan objek sebagai “kepemilikan.” Pada relasi “transaksi,” tanah diang- gap sebagai objek yang pasif, “yang dipolitisasi”oleh manusia (bdk. Bryant & Bailey 1997, hlm. 26, Bryant 1998, hlm. 82–83) sehingga persoalan hilangnya “kepemilikan” atas suatu objek dan kompensasi atas kehilangan itu tidak bisa diurai dengan baik. Untuk itu, dalam mendiskusikan “kehilangan” dan “kompensasi” tulisan ini juga akan mempertim- bangkan “pendekatan objek.”Sekalipun masih antroposentris, pendekatan kedua ini cenderung melihat bagaimana aktor terikat atau mengikatkan diri pada suatu objek, d.h.i. tanah. Pendekatan objek akan sangat membantu dalam menggali nilai-nilai yang dilekatkan manusia pada tanah dan membahas kadar “kehilangan” ketika manusia diputus paksa dari tanahnya. Nilai adalah persoalan budaya dan dengan demikian juga adalah persoalan identitas suatu komunitas. Argumen saya sederhana: kekhawatiran utama manusia bukanlah soal hilangnya tanah, melainkan lebih pada kekhawatiran akan hilangnya nilai-nilai yang sudah dilekatkan pada tanah tersebut. Argumen semacam ini ditujukan untuk memper- soalkan penyederhanaan yang selama ini dilakukan atas “kehilangan” dan “kompensasi.” Secara umum, “kompensasi” adalah bagaimana mengatasi ketidakseimbangan akibat kehilangan sesuatu/seseorang yang terjadi secara mendadak (Bäckman & Dixon 1992, Faure 2007, Sugarman 2007). Akan tetapi, berangkat dari kacamata f ilsafat hukum, “kompensasi” terkait dengan “hukuman” yang diberikan pada aktor-pelaku yang telah mengakibatkan ketidakseimbangan (Fletcher 1981, hlm. 693). Sementara “hukuman” titik tolaknya adalah pada aktor-pelaku, orientasi “kompensasi” adalah aktor-korban yang dirugikan akibat ketidakseimbangan yang terjadi. Mengacu pada argumen itu, kita dapat mendef inisikan “kompensasi” sebagai hak yang harus diterimakan 5 Bryant dan Bailey menulis buku berjudul Third World Political Ecology yang lahir dari kuliah yang di- asuh oleh Raymond Bryant, pengajar di Jurusan Geografi, King’s College, London, dengan judul yang sama. Sepanjang 1990an, Bryant telah menulis beberapa artikel yang menjadi bahan dasar penulisan buku tersebut. Sinéad Bailey adalah salah satu murid Bryant yang kemudian menjadi partner penelitian dan penu- lisan buku tersebut. 6 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015 pada aktor-korban dari aktor-pelaku menyusul ketidakseimbangan akibat penghilangan sesuatu/ seseorang yang bernilai bagi aktor-korban oleh aktor-pelaku. Dengan demikian, “kompensasi” tidak sama dengan “bantuan” karena yang terakhir ini dapat berasal dari pihak manapun,tidak harus dari si pelaku, dan sifatnya sukarela. Tulis Fletcher, “kita dapat membantu korban dengan uang kita, tapi secara konseptual kita tidak sedang mengompen- sasi mereka” (1981, hlm. 699), sehingga sekalipun bentuk dan jumlahnya sama hakikat keduanya berbeda. D. Relasi Para Aktor Sekalipun terdapat perbedaan pendapat tentang pemicu semburan (kesalahan pengeboran atau gempa bumi), sebagian besar warga meyakini bahwa lumpur panas yang menghancurkan tanah mereka itu disebabkan oleh kelalaian Lapindo. Wacana “kelalaian Lapindo” telah mengendap menjadi “kebenaran” karena diperkuat pernyataan- pernyataan awal yang dilontarkan oleh aktor pen- ting dari pemerintah, ahli, dan bahkan dari pihak Lapindo – sebelum akhirnya banyak yang berpin- dah haluan (Batubara 2013; Mudhoff ir 2013; Novenanto 2013a, 2013b). Dalam konteks semacam ini, warga sedang menuntut pelaku untuk meng- ganti segala kerugian yang diderita sebagai akibat dari ulahnya itu; mereka tidak sedang meminta “bantuan,” tapi menuntut “kompensasi.” Sayangnya, tidak demikian yang terjadi dalam perjalanan kasus Lapindo. Seperti sudah dibahas pada bagian sebelum ini, terdapat perbedaan mendasar antara “kompensasi” dan “bantuan.” Sementara “kompensasi” mengan- daikan relasi antara “korban” (warga) dan “pelaku” (Lapindo), “bantuan” mengandaikan relasi antara “korban” (warga) dan “non-pelaku”(pemerintah). Kedua bentuk relasi itu berubah total pasca diterap- kannya mekanisme “jual beli,” yang berarti relasi yang melibatkan “penjual” (warga) dan “pembeli” (Lapindo/pemerintah) dengan objek transaksinya adalah aset di “dalam peta” dan “luar peta”. Yang dimaksud “peta” adalah peta area terdampak 22 Maret 2007, lampiran Perpres 14/2007. Transaksi tanah di “dalam peta” menjadi sangat rumit untuk diurai karena tidak hanya melibatkan aktor-penjual (warga) dan aktor-pembeli (Lapin- do), tapi juga aktor-pengatur (pemerintah). Seperti dibahas pada bagian sebelumnya, bentuk dan besaran “kompensasi” bagi korban Lapindo meru- pakan turunan dari kalkulasi spontan Wakil Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah, untuk membeli tanah dan bangunan dua belas warga Jatirejo guna mem- bangun tanggul. Model jual beli dan nilai tukar aset itu diadopsi warga untuk mendesak Lapindo untuk mengompensasi mereka atas kelalaiannya. Legiti- masi atas transaksi tanah “dalam peta” adalah Per- pres 14/2007, yang secara sederhana dapat diilustrasikan seperti berikut: Bagan .1. Relasi aktor berbasis tanah “dalam peta” Perpres 14/2007 mengatur agar Lapindo membayar secara bertahap: 20 persen uang muka dan sisanya dibayarkan sekaligus tidak lebih dari waktu dua tahun setelah pembayaran pertama. Untuk mengurusi proses itu, Lapindo mendirikan anak perusahaan, Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Pada kenyataannya, proses itu tidaklah semulus dan sesederhana seperti bayangan warga. Seperti banyak dibahas sebelumnya, jual beli tanah yang diatur Perpres 14/2007 bertentangan dengan UUPA 5/1960 (Gustomy 2012, Kurniawan 2012). Perusa- haan (Lapindo) bukanlah subjek hukum yang berhak membeli tanah. Mengacu UUPA, segala praktik jual beli tanah yang melibatkan perusahaan akan batal secara hukum dan status tanah akan 7Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11 berubah menjadi “tanah negara.” Dengan demi- kian, Perpres 14/2007 membuka peluang bagi beragam tafsir hukum dan sosial atas apa yang dimaksudkan “Lapindo membeli tanah dan bangunan dari warga. “Pada 24 Maret 2008, BPN Pusat menerbitkan petunjuk pelaksanaan yang merinci alur mekanisme jual beli tanah “dalam peta” berdasarkan status tanah (tanah hak milik, tanah yasan/letter c/petok d/gogol, hak guna bangunan, dan aset pemerintah pusat/daerah). Dalam setiap alur itu disebutkan bahwa setelah terjadi ikatan jual beli status tanah akan menjadi “tanah negara” dan kemudian pemerintah akan memberikan “hak guna bangunan” pada Lapindo atas tanah tersebut (lih. Bagan 2). Bagan .2. Proses perubahan status tanah “dalam peta” Pada pertengahan 2008, MLJ menyatakan tidak sanggup melunasi seluruh sisa pembayaran secara tunai dan mengangkat kembali opsi “relokasi” dengan membarter nilai tukar aset warga dengan unit rumah baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV), sebuah perumahan elite di bawah bendera Bakrieland. Dengan dalih transaksi jual beli tanah membutuhkan sertif ikat “resmi” dari BPN, MLJ memaksa warga tanpa sertif ikat tanah untuk mengambil opsi yang populer dengan istilah “cash and resettlement.” Sebagian besar warga yang ter- gabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) menerima opsi itu melalui mediasi budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Semen- tara itu, banyak juga warga yang menolak tawaran MLJ itu. Mereka menuntut pembayaran dilakukan sesuai Perpres 14/2007, yaitu tunai sekaligus. Kepada kelompok warga ini, pada Desember 2008, MLJ berjanji akan membayar kekurangan dengan cara cicilan sejumlah Rp 30 juta/bulan/berkas. Pada Februari, janji itu berubah menjadi Rp 15 juta/ bulan/berkas. Mulai Januari 2013, pembayaran cicilan itu berhenti karena MLJ menyatakan tidak punya uang lagi. Hingga kini, MLJ masih menunggak pada warga sebesar lebih dari Rp 700 milyar dan berharap pemerintah mau menalangi tunggakan itu. Melalui APBN Perubahan 2015, pemerintah menganggar- kan dana sebesar Rp.781,7 milyar untuk menalangi kekurangan pembayaran MLJ pada korban. Dana APBN itu sifatnya bukanlah bantuan (bail out), melainkan pinjaman bersyarat dan Lapindo/MLJ berkewajiban mengembalikannya. Sebelum men- cairkan dana itu, pemerintah harus mendapatkan jaminan dari Lapindo/MLJ berupa seluruh berkas tanah “dalam peta” yang akan diambil alih peme- rintah bila Lapindo/MLJ tidak dapat mengem- balikan dana pinjaman itu dalam kurun empat tahun. Jika keputusan itu betul dilaksanakan, maka terjadi perubahan drastis dalam relasi antara para aktor dalam transaksi tanah “dalam peta”: warga sebagai penjual, Lapindo sebagai pembeli, dan pemerintah sebagai talang/makelar dalam proses jual beli itu (lih. Bagan 3). Kelanjutan status tanah “dalam peta” akan amat tergantung pada apakah pemerintah akan memberikan “hak guna bangunan” tanah tersebut pada Lapindo atau me- nahannya. Bagan.3. Relasi bila pemerintah menalangi pembayaran tanah “dalam peta” Proses jual beli tanah di “luar peta” cenderung lebih mudah diurai karena Lapindo tidak lagi terlibat di dalamnya dan relasi hanya melibatkan aktor-penjual (warga) dan aktor-pembeli (peme- rintah).Tidak hanya itu, menurut Perpres 48/2008, status tanah setelah transaksi pun lebih jelas, yaitu 8 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015 menjadi barang milik negara di bawah Menteri Keuangan dan dipergunakan oleh BPLS (Pasal 15c). Namun, transaksi tersebut masih menyisakan pertanyaan seputar dasar bagi pemerintah “mem- beli” tanah tersebut karena Pasal 15 ayat 4 Perpres 48/2008 menyebutkan bahwa dalam transaksi itu Perpres 36/2005 jo Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum tidak berlaku. Terlepas dari itu, secara sederhana relasi yang terjadi atas tanah di “luar peta” dapat diilus- trasikan seperti Bagan 4. Bagan .4.Relasi aktor berbasis tanah “luar peta” E. Relasi Manusia dan Tanah Cernea (1997, 2003) menyebutkan bahwa beragam jenis kehilangan yang dialami korban pemindahan paksa, namun artikel ini hanya akan membahas ihwal kehilangan yang terkait dengan relasi manusia dan tanah. Berkaca pada kasus Lapindo, ada tiga hal yang patut kita catat berpo- tensi untuk ikut hilang menyusul hilangnya tanah. Pertama, hilangnya kehidupan sosial/keseharian terkait dengan tanah yang hilang itu. Secara kasat mata, lumpur Lapindo tidak menghilangkan tanah, namun mengalihkan fungsi tanah, dari tanah produktif menjadi tanah mangkrak. Yang hilang, kemudian, adalah kehidupan sosial/keseharian yang pernah terjadi di atas tanah itu. Pada sebuah petang di pertengahan Juni 2012, saya diantarkan oleh seorang pemuda korban Lapindo pergi ke “titik 25.”6 Di sana kami bertemu dengan beberapa wisatawan lokal yang dipandu oleh beberapa “ojek tanggul.” Sementara para wisatawan itu mengambil gambar senja di atas tanggul, satu tukang ojek bertindak seperti seorang pemandu wisata profesional menjelaskan pada mereka tentang bencana lumpur Lapindo. Dia menunjuk beberapa titik di atas permukaan danau lumpur yang diklaimnya sebagai lokasi bekas desanya. “Sekarang semua hilang,” ujarnya. Begitu hari mulai gelap, kami turun dari tanggul. Sambil mengemudikan sepeda motornya, pengantar saya bercerita tentang kenangan masa kecilnya bermain di wilayah yang sekarang terbenam lumpur. “Dahulu ada rumah dan sekolah, tapi sekarang semua sudah tiada,” katanya. Kedua, hilangnya objek membuka kemung- kinan bagi hilangnya pengetahuan tentang objek tersebut (Kirsch 2001a, hlm. 173–174). Karena objek yang hilang adalah tanah tempat kehidupan sosial/ keseharian terjadi, yang hilang bukan sekadar pengetahuan tentang tanah melainkan juga kehidupan sosial/keseharian yang pernah terjadi terkait tanah itu. Setiap subjek berkesempatan untuk membangun pengetahuan intersubjektif tentang tanah dan kehidupan sosial/keseharian yang hilang itu. Pengetahuan itu tersimpan dalam ingatan setiap subjek yang mengalaminya dan hanya dikeluarkan pada momentum tertentu. Namun, tidak semua orang punya peluang yang sama dalam mereproduksi dan mengartikulasikan pengetahuannya itu kepada orang lain, kalaupun ada peluang belum tentu juga orang lain itu akan menerimanya begitu saja (Drake 2013). Hal ini membawa kita kembali pada kisah informan di awal tulisan ini. Dari kisah itu kita dapat menyaksikan fungsi foto sebagai medium pemicu reproduksi pengetahuan tentang sebuah rumah yang secara f isik sudah tiada, namun masih eksis dalam ingatan informan. “Perasaan memiliki” rumah dari informan tersebut justru semakin kuat karena objek itu sudah tiada lagi. Objek bisa saja hilang, namun pengetahuan tentangnya itu tidak begitu saja hilang dari ingatan subjek. Namun, 6 “Titik 25” adalah titik terdekat dengan semburan utama yang dapat diakses oleh publik. Untuk memu- dahkan pembangunan tanggul, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mengode dengan sebutan “titik” menggantikan nama desa/dusun administratif yang terendam lumpur. 9Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11 karena subjek itu telah terputus dari objek dan pengetahuan bersifat intersubjektif, konstruksi pengetahuan tentang objek itu akan berubah bersamaan dengan proses interaksi subjek dengan objek baru. Kisah informan itu menunjukkan bahwa tanah bukan objek sembarangan. Bagi f ilsuf Jerman Mar- tin Heidegger (1971), tanah adalah “hunian” (Jer. Wohnung)yang merujuk bukan sekadar tempat yang kita diami atau tinggali tapi juga tempat yang kita pelihara dan rawat seperti halnya kita memelihara dan merawat diri kita sendiri. Pada level ini kita tidak sedang berbicara tentang “kepe- milikan,” tapi lebih tentang “perasaan memiliki” tanah. Kondisi ini membawa kita pada kehilangan ketiga yang patut kita catat, yaitu hilangnya identitas kolektif dan intersubjektif yang terbentuk dari kehidupan sosial/keseharian bersama tanah itu. Tanah adalah objek yang turut membentuk identitas para aktor yang terikat dan mengikatkan diri padanya. Hilangnya tanah berarti juga hilang- nya nilai-nilai lama yang dilekatkan pada tanah itu tergantikan oleh nilai-nilai baru. Keunikan relasi manusia dan tanah pada kasus Lapindo adalah kenyataan bahwa nilai yang dile- katkan warga pada tanah jauh lebih besar justru setelah f isik tanah itu hilang dan tidak lagi dapat dipergunakan untuk hunian. Melepas “kepemi- likan,” tidak sama dengan melepas “perasaan memi- liki” tanah. Perasaan itu bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah tergantikan oleh penggantian berdasarkan nilai tukar atas tanah itu. “Kom- pensasi” yang didapatkan korban hanya berfungsi sebagai perantara untuk mendapatkan tanah baru menggantikan tanah lama yang terendam lumpur. Caranya adalah dengan melepas “kepemilikan” atas tanah lama dan menggantinya dengan “kepe- milikan” atas tanah baru. Sementara lumpur menghilangkan objek tanah, jual beli melepaskan “kepemilikan” atas tanah. Akan tetapi, proses kompensasi melalui mekanisme jual beli tidak pernah bisa mengganti “perasaan memiliki” tanah. E. Kesimpulan Hubungan antara manusia dan tanah adalah unik karena pada tanah manusia melekatkan nilai ekonomi, sosial, dan budaya. Tanah merupakan basis bagi dua jenis relasi sosial, yaitu relasi antara aktor manusia dan relasi antara manusia dan tanah, dan artikel ini membahas keduanya. Artikel ini mendiskusikan kedua jenis relasi itu dengan mengangkat proses kehilangan dan kompensasi dalam kasus Lapindo. Selama ini, persoalan kehilangan tanah akibat lumpur Lapindo diselesaikan melalui mekanisme “jual beli” yang menandakan pencabutan “kepemi- likan” atas tanah yang hilang itu dengan nilai tukar tertentu. Mekanisme itu dilegitimasi melalui pener- bitan Perpres 14/2007 yang membagi tanggung jawab pembelian pada Lapindo dan pemerintah dengan acuan peta 22 Maret 2007. Lapindo berke- wajiban membeli tanah di “dalam peta” dan peme- rintah menanggung pembelian tanah di “luar peta.” Relasi sosial dalam transaksi tanah “luar peta” mudah diurai, sementara relasi sosial yang terben- tuk dalam transaksi tanah “dalam peta” menjadi rumit karena sejak awal melibatkan interrelasi tiga aktor (penjual, pembeli, dan pengatur) dan dalam proses- nya terjadi perubahan peran yang cukup signif ikan. Berkaca pada kasus Lapindo ada tiga hal yang potensial hilang menyusul hilangnya tanah:1) kehidupan sosial/keseharian terkait dengan tanah yang hilang itu, 2) pengetahuan atas tanah dan kehidupan sosial/keseharian terkait dengan tanah itu, dan 3) identitas yang terbentuk dari interaksi manusia dan tanah itu. Keunikan relasi manusia dan tanah terbukti pada persoalan melepas “kepe- milikan” yang tidak pernah sama dengan melepas “perasaan memiliki” tanah. “Perasaan memiliki” bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah tergantikan oleh penggantian berdasarkan nilai tukar, bahkan tak jarang perasaan itu semakin kuat ketika manusia diputus paksa dari tanahnya. Hal ini dipicu oleh fakta bahwa tanah bukanlah objek sembarangan, di atas tanah manusia “menghuni” 10 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015 yang berarti memelihara dan merawatnya seperti manusia memelihara dan merawat dirinya sendiri. Konsep “kehilangan” tanah perlu didiskusikan lebih serius untuk menemukan cara mengom- pensasi kehilangan-kehilangan yang terjadi ketika manusia diputus paksa dari tanahnya. Selama ini, kompensasi atas kehilangan tanah hanya mem- perhitungkan nilai ekonomis semata dan belum menyentuh pertimbangan nilai sosial dan budaya yang dilekatkan manusia pada tanah. Saya melihat adanya kebutuhan yang mendesak bagi peminat studi agraria untuk menggali pelbagai gagasan seputar ihwal yang potensial hilang ketika manusia diputus paksa dari tanahnya dan bagaimana cara mengompensasi kehilangan semacam itu.Untuk itu, fokus kajian studi agraria perlu melampaui sekadar analisis relasi kuasa antar-aktor manusia (pendekatan aktor), tapi juga mengurai relasi-relasi unik yang terjadi antara manusia dengan tanahnya (pendekatan objek). Daftar Pustaka Abidin, H. Z., Davies, R. J., Kusuma, M. A., Andreas, H., & Deguchi, T, 2009, Subsidence and uplift of Sidoarjo (East Java) due to the eruption of the Lusi mud volcano (2006 – present). Envi- ronmental Geology, 57, 833–844. Af andi, M, 2013, Perlawanan Ekstra-Legal: Transformasi Perlawanan Petani Menghadapi Korporasi Perkebunan. Bhumi, 12(37), 63–95. Andriarti, A., & Novenanto, A, 2013, Kasus Lapindo di balik layar “tivi merah.” In A. Novenanto (Ed), Membingkai Lapindo: Pendekatan Kon- struksi Sosial atas Kasus Lapindo (pp. 67–91), Jakarta & Yogyakarta, MediaLink & Kanisius. Aprianto, T. C, 2013, “Perampasan Tanah dan Konf lik: Kisah Perlawanan Sedulur Sikep”. Bhumi, 12(37), 157–168. Bäckman, L., & Dixon, R. A, 1992, “Psychological Compensation: A Theoretical Framework”. Psychological Bulletin, 112 (2), 259–283. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), 2007, Laporan Pemeriksaan atas Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo, Jakarta, Badan Peme- riksa Keuangan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2007, Laporan Awal Penilaian Kerusakan dan Kerugian akibat Semburan Lumpur Panas Sidoarjo, Jawa Timur, 29 Mei 2006, Jakarta, Bappenas. Batubara, B, 2013, Perdebatan tentang penyebab lumpur Lapindo. In A. Novenanto (Ed.), Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo (pp. 1–16). Jakarta & Yogyakarta, MediaLink & Kanisius. Batubara, B., & Utomo, P. W, 2012, Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo. (H. Prasetia, Ed.), Yog- yakarta, INSIST Press. Bryant, R. L, 1998, Power, knowledge and political ecology in the third world: a review. Progress in Physical Geography, 22 (1), 79–94. Bryant, R. L., & Bailey, S, 1997, Third World Political Ecology, New York: Routledge. Cahyati, D. D, 2014a, Konflik Agraria di Urutsewu: Pen- dekatan Ekologi Politik, Yogyakarta: STPN Press. Cahyati, D. D, 2014b, “Pertarungan Aktor dalam Konflik Penguasaan Tanah dan Penambangan Pasir Besi di Urut Sewu Kebumen”, Bhumi, 13(39), 369–386. Cernea, M. M, 1997, The risks and reconstruction model for resettling displaced populations. World Development, 25(10), 1569–1587. Cernea, M. M, 2003, For a new economics of re- settlement: a sociological critique of the com- pensation principle. International Social Sci- ence Journal, 55(175), 37–45. Davies, R. J., Mathias, S., Swarbrick, R. E., & Tingay, M. (2011). Probabilistic longevity estimate for the LUSI mud volcano, East Java. Journal of the Geological Society, London, 168, 517–523. Drake, P, 2012, The goat that couldn’t stop the mud volcano: sacrif ice, subjectivity, and Indonesia’s “Lapindo mudflow.” Humanimalia, 4(1), 80–111. Drake, P, 2013, Under the Mud Volcano: Indonesia’s Mudflow Victims and the Politics of Testimo- ny, Indonesia and the Malay World, 41, 299–321. Faure, M. G, 2007, Financial compensation for vic- tims of catastrophes: a law and economics per- 11Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11 spective. Law and Policy, 29(3), 339–367. Fletcher, G. P, 1981, Punishment and Compensa- tion, Creighton Law Review, 14(1893), 691–705. Goad, S. T, 1817, Miscellanous observations on the volcanic eruptions at the islands of Java and Sumbawa, with a particular account of the mud volcano at Grobogan, Journal of Science & the Arts, 1, 245–258. Gustomy, R, 2012, Menjinakkan negara, menun- dukkan masyarakat: menelusuri jejak strategi kuasa PT Lapindo Brantas dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo. In H. Prasetia (Ed.), Lumpur Lapindo: Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (pp. 31–97). Depok: Yayasan Desantara. Hamdi, M., Haf idz, W., & Sauter, G, 2009, Uplink Porong: responses to the mud volcano disaster in Sidoarjo, Gatekeeper, London, International Institute for Environment and Development (IIED). Heidegger, M, 1971, Building Dwelling Thinking. In A. Hofstadter (Trans.), Poetry, Language, Thought. New York: Harper Colophon Books. Higgins, G. E., & Saunders, J. B, 1974, Mud volca- noes - their nature and origin. Verhandlungen Der Naturforschenden Gesellschaft in Basel, 1(30), 101–152. Karib, F, 2012, Programming Disaster: Switching Network, Village Politics and Exclusion be- yond Lapindo Mudflow. Unpublished Thesis, University of Passau, Germany. Kirsch, S, 2001a, Lost Worlds: Environmental Di- saster, “Cultural Loss,” and the Law. Current Anthropology, 42(2), 167–198. Kirsch, S, 2001b, Property Effects: Social Networks and Compensation Claims in Melanesia. So- cial Anthropology, 9(2), 147–163. Kurniawan, J. A, 2012, Lumpur Lapindo: sebuah potret mitos tentang negara hukum Indone- sia. In H. Prasetia (Ed.), Lumpur Lapindo: Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (pp. 99–148), Jakarta, Yayasan Desantara. McMichael, H, 2009, The Lapindo mudflow disas- ter: environmental, infrastructure and eco- nomic impact. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 45(1), 73–83. Mudhoff ir, A. M, 2013, Berebut kebenaran: politik pembentukan subjek pada kasus Lapindo. In A. Novenanto (Ed.), Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo (pp. 17–48), Jakarta & Yogyakarta, MediaLink & Kanisius. Novenanto, A. 2010, Melihat Kasus Lapindo sebagai Bencana Sosial. Masyarakat, Kebudayaan, Dan Politik, 23(1 (Jan-Mar)), 63–75. Novenanto, A, 2013°, Kasus Lapindo oleh media arusutama, In A. Novenanto (Ed.), Membing- kai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo (pp. 93–115). Jakarta & Yogya- karta, MediaLink & Kanisius. Novenanto, A, 2013b, Menguak ketertutupan infor- masi kasus Lapindo, In A. Novenanto (Ed.), Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo (pp. v–xviii). Jakarta & Yogyakarta, MediaLink & Kanisius. Novenanto, A, 2015, April 8, Golkar dan Lapindo, IndoProgress.com, Retrieved April 11, 2015, f rom http://indoprogress.com/2015/04/ golkar-dan-lapindo. Novenanto, A., Batubara, B., Mudhoff ir, A. M., Andriarti, A., Suryandaru, Y. S., & Kriyantono, R. (2013), Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo, (A. Novenanto, Ed.), Jakarta & Yogyakarta, MediaLink & Kanisius. Oliver-Smith, A, 2010, Defying Displacement: Grassroot Resistance and the Critique of De- velopment, Austin, TX: University of Texas Press. Rachman, N. F, 2013, Rantai Penjelas Konf lik- Konf lik Agraria yang Kronis, Sistemik dan Meluas di Indonesia. Bhumi, 12(37), 1–14. Schiller, J., Lucas, A., & Sulistiyanto, P, 2008, Learn- ing from the East Java mudflow: disaster poli- tics in Indonesia, Indonesia, 85 (April), 51–77. Sugarman, S. D, 2007, Roles of Government in Com- pensating Disaster Victims, Issues in Legal Scholarship, 6(3), 1–33. Tohari, A, 2013, Land Grabbing dan Potensi Inter- nal Displacement Persons (IDP) dalam Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua, Bhumi, 12(37), 49–62. Perancis Mei 2015.pdf 1_Anton.pdf 2_Kus Sri An.pdf 3_Noer Fauzi R.pdf 4_Ahmad NL.pdf 5_Mujiati.pdf 6_Fisko.pdf 7_Priyo Kato.pdf 8_Ayu.pdf 9_Kariyono d.pdf 10_Darmanto.pdf << /ASCII85EncodePages false /AllowTransparency false /AutoPositionEPSFiles true /AutoRotatePages /All /Binding /Left /CalGrayProfile (Dot Gain 20%) /CalRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CalCMYKProfile (U.S. Web Coated \050SWOP\051 v2) /sRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CannotEmbedFontPolicy /Warning /CompatibilityLevel 1.4 /CompressObjects /Tags /CompressPages true /ConvertImagesToIndexed true /PassThroughJPEGImages true /CreateJDFFile false /CreateJobTicket false /DefaultRenderingIntent /Default /DetectBlends true /DetectCurves 0.0000 /ColorConversionStrategy /LeaveColorUnchanged /DoThumbnails false /EmbedAllFonts true /EmbedOpenType false /ParseICCProfilesInComments true /EmbedJobOptions true /DSCReportingLevel 0 /EmitDSCWarnings false /EndPage -1 /ImageMemory 1048576 /LockDistillerParams false /MaxSubsetPct 100 /Optimize true /OPM 1 /ParseDSCComments true /ParseDSCCommentsForDocInfo true /PreserveCopyPage true /PreserveDICMYKValues true /PreserveEPSInfo true /PreserveFlatness true /PreserveHalftoneInfo false /PreserveOPIComments false /PreserveOverprintSettings true /StartPage 1 /SubsetFonts true /TransferFunctionInfo /Apply /UCRandBGInfo /Preserve /UsePrologue false /ColorSettingsFile () /AlwaysEmbed [ true ] /NeverEmbed [ true ] /AntiAliasColorImages false /CropColorImages true /ColorImageMinResolution 300 /ColorImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleColorImages true /ColorImageDownsampleType /Bicubic /ColorImageResolution 300 /ColorImageDepth -1 /ColorImageMinDownsampleDepth 1 /ColorImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeColorImages true /ColorImageFilter /DCTEncode /AutoFilterColorImages true /ColorImageAutoFilterStrategy /JPEG /ColorACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /ColorImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000ColorACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000ColorImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasGrayImages false /CropGrayImages true /GrayImageMinResolution 300 /GrayImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleGrayImages true /GrayImageDownsampleType /Bicubic /GrayImageResolution 300 /GrayImageDepth -1 /GrayImageMinDownsampleDepth 2 /GrayImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeGrayImages true /GrayImageFilter /DCTEncode /AutoFilterGrayImages true /GrayImageAutoFilterStrategy /JPEG /GrayACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /GrayImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000GrayACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000GrayImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasMonoImages false /CropMonoImages true /MonoImageMinResolution 1200 /MonoImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleMonoImages true /MonoImageDownsampleType /Bicubic /MonoImageResolution 1200 /MonoImageDepth -1 /MonoImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeMonoImages true /MonoImageFilter /CCITTFaxEncode /MonoImageDict << /K -1 >> /AllowPSXObjects false /CheckCompliance [ /None ] /PDFX1aCheck false /PDFX3Check false /PDFXCompliantPDFOnly false /PDFXNoTrimBoxError true /PDFXTrimBoxToMediaBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXSetBleedBoxToMediaBox true /PDFXBleedBoxToTrimBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXOutputIntentProfile () /PDFXOutputConditionIdentifier () /PDFXOutputCondition () /PDFXRegistryName () /PDFXTrapped /False /Description << /CHS /CHT /DAN /DEU /ESP /FRA /ITA /JPN /KOR /NLD (Gebruik deze instellingen om Adobe PDF-documenten te maken voor kwaliteitsafdrukken op desktopprinters en proofers. De gemaakte PDF-documenten kunnen worden geopend met Acrobat en Adobe Reader 5.0 en hoger.) /NOR /PTB /SUO /SVE /ENU (Use these settings to create Adobe PDF documents for quality printing on desktop printers and proofers. Created PDF documents can be opened with Acrobat and Adobe Reader 5.0 and later.) >> /Namespace [ (Adobe) (Common) (1.0) ] /OtherNamespaces [ << /AsReaderSpreads false /CropImagesToFrames true /ErrorControl /WarnAndContinue /FlattenerIgnoreSpreadOverrides false /IncludeGuidesGrids false /IncludeNonPrinting false /IncludeSlug false /Namespace [ (Adobe) (InDesign) (4.0) ] /OmitPlacedBitmaps false /OmitPlacedEPS false /OmitPlacedPDF false /SimulateOverprint /Legacy >> << /AddBleedMarks false /AddColorBars false /AddCropMarks false /AddPageInfo false /AddRegMarks false /ConvertColors /NoConversion /DestinationProfileName () /DestinationProfileSelector /NA /Downsample16BitImages true /FlattenerPreset << /PresetSelector /MediumResolution >> /FormElements false /GenerateStructure true /IncludeBookmarks false /IncludeHyperlinks false /IncludeInteractive false /IncludeLayers false /IncludeProfiles true /MultimediaHandling /UseObjectSettings /Namespace [ (Adobe) (CreativeSuite) (2.0) ] /PDFXOutputIntentProfileSelector /NA /PreserveEditing true /UntaggedCMYKHandling /LeaveUntagged /UntaggedRGBHandling /LeaveUntagged /UseDocumentBleed false >> ] >> setdistillerparams << /HWResolution [2400 2400] /PageSize [612.000 792.000] >> setpagedevice << /ASCII85EncodePages false /AllowTransparency false /AutoPositionEPSFiles true /AutoRotatePages /All /Binding /Left /CalGrayProfile (Dot Gain 20%) /CalRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CalCMYKProfile (U.S. Web Coated \050SWOP\051 v2) /sRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CannotEmbedFontPolicy /Warning /CompatibilityLevel 1.4 /CompressObjects /Tags /CompressPages true /ConvertImagesToIndexed true /PassThroughJPEGImages true /CreateJDFFile false /CreateJobTicket false /DefaultRenderingIntent /Default /DetectBlends true /DetectCurves 0.0000 /ColorConversionStrategy /LeaveColorUnchanged /DoThumbnails false /EmbedAllFonts true /EmbedOpenType false /ParseICCProfilesInComments true /EmbedJobOptions true /DSCReportingLevel 0 /EmitDSCWarnings false /EndPage -1 /ImageMemory 1048576 /LockDistillerParams false /MaxSubsetPct 100 /Optimize true /OPM 1 /ParseDSCComments true /ParseDSCCommentsForDocInfo true /PreserveCopyPage true /PreserveDICMYKValues true /PreserveEPSInfo true /PreserveFlatness true /PreserveHalftoneInfo false /PreserveOPIComments false /PreserveOverprintSettings true /StartPage 1 /SubsetFonts true /TransferFunctionInfo /Apply /UCRandBGInfo /Preserve /UsePrologue false /ColorSettingsFile () /AlwaysEmbed [ true ] /NeverEmbed [ true ] /AntiAliasColorImages false /CropColorImages true /ColorImageMinResolution 300 /ColorImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleColorImages true /ColorImageDownsampleType /Bicubic /ColorImageResolution 300 /ColorImageDepth -1 /ColorImageMinDownsampleDepth 1 /ColorImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeColorImages true /ColorImageFilter /DCTEncode /AutoFilterColorImages true /ColorImageAutoFilterStrategy /JPEG /ColorACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /ColorImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000ColorACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000ColorImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasGrayImages false /CropGrayImages true /GrayImageMinResolution 300 /GrayImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleGrayImages true /GrayImageDownsampleType /Bicubic /GrayImageResolution 300 /GrayImageDepth -1 /GrayImageMinDownsampleDepth 2 /GrayImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeGrayImages true /GrayImageFilter /DCTEncode /AutoFilterGrayImages true /GrayImageAutoFilterStrategy /JPEG /GrayACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /GrayImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000GrayACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000GrayImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasMonoImages false /CropMonoImages true /MonoImageMinResolution 1200 /MonoImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleMonoImages true /MonoImageDownsampleType /Bicubic /MonoImageResolution 1200 /MonoImageDepth -1 /MonoImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeMonoImages true /MonoImageFilter /CCITTFaxEncode /MonoImageDict << /K -1 >> /AllowPSXObjects false /CheckCompliance [ /None ] /PDFX1aCheck false /PDFX3Check false /PDFXCompliantPDFOnly false /PDFXNoTrimBoxError true /PDFXTrimBoxToMediaBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXSetBleedBoxToMediaBox true /PDFXBleedBoxToTrimBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXOutputIntentProfile () /PDFXOutputConditionIdentifier () /PDFXOutputCondition () /PDFXRegistryName () /PDFXTrapped /False /Description << /CHS /CHT /DAN /DEU /ESP /FRA /ITA /JPN /KOR /NLD (Gebruik deze instellingen om Adobe PDF-documenten te maken voor kwaliteitsafdrukken op desktopprinters en proofers. De gemaakte PDF-documenten kunnen worden geopend met Acrobat en Adobe Reader 5.0 en hoger.) /NOR /PTB /SUO /SVE /ENU (Use these settings to create Adobe PDF documents for quality printing on desktop printers and proofers. Created PDF documents can be opened with Acrobat and Adobe Reader 5.0 and later.) >> /Namespace [ (Adobe) (Common) (1.0) ] /OtherNamespaces [ << /AsReaderSpreads false /CropImagesToFrames true /ErrorControl /WarnAndContinue /FlattenerIgnoreSpreadOverrides false /IncludeGuidesGrids false /IncludeNonPrinting false /IncludeSlug false /Namespace [ (Adobe) (InDesign) (4.0) ] /OmitPlacedBitmaps false /OmitPlacedEPS false /OmitPlacedPDF false /SimulateOverprint /Legacy >> << /AddBleedMarks false /AddColorBars false /AddCropMarks false /AddPageInfo false /AddRegMarks false /ConvertColors /NoConversion /DestinationProfileName () /DestinationProfileSelector /NA /Downsample16BitImages true /FlattenerPreset << /PresetSelector /MediumResolution >> /FormElements false /GenerateStructure true /IncludeBookmarks false /IncludeHyperlinks false /IncludeInteractive false /IncludeLayers false /IncludeProfiles true /MultimediaHandling /UseObjectSettings /Namespace [ (Adobe) (CreativeSuite) (2.0) ] /PDFXOutputIntentProfileSelector /NA /PreserveEditing true /UntaggedCMYKHandling /LeaveUntagged /UntaggedRGBHandling /LeaveUntagged /UseDocumentBleed false >> ] >> setdistillerparams << /HWResolution [2400 2400] /PageSize [612.000 792.000] >> setpagedevice << /ASCII85EncodePages false /AllowTransparency false /AutoPositionEPSFiles true /AutoRotatePages /All /Binding /Left /CalGrayProfile (Dot Gain 20%) /CalRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CalCMYKProfile (U.S. Web Coated \050SWOP\051 v2) /sRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CannotEmbedFontPolicy /Warning /CompatibilityLevel 1.4 /CompressObjects /Tags /CompressPages true /ConvertImagesToIndexed true /PassThroughJPEGImages true /CreateJDFFile false /CreateJobTicket false /DefaultRenderingIntent /Default /DetectBlends true /DetectCurves 0.0000 /ColorConversionStrategy /LeaveColorUnchanged /DoThumbnails false /EmbedAllFonts true /EmbedOpenType false /ParseICCProfilesInComments true /EmbedJobOptions true /DSCReportingLevel 0 /EmitDSCWarnings false /EndPage -1 /ImageMemory 1048576 /LockDistillerParams false /MaxSubsetPct 100 /Optimize true /OPM 1 /ParseDSCComments true /ParseDSCCommentsForDocInfo true /PreserveCopyPage true /PreserveDICMYKValues true /PreserveEPSInfo true /PreserveFlatness true /PreserveHalftoneInfo false /PreserveOPIComments false /PreserveOverprintSettings true /StartPage 1 /SubsetFonts true /TransferFunctionInfo /Apply /UCRandBGInfo /Preserve /UsePrologue false /ColorSettingsFile () /AlwaysEmbed [ true ] /NeverEmbed [ true ] /AntiAliasColorImages false /CropColorImages true /ColorImageMinResolution 300 /ColorImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleColorImages true /ColorImageDownsampleType /Bicubic /ColorImageResolution 300 /ColorImageDepth -1 /ColorImageMinDownsampleDepth 1 /ColorImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeColorImages true /ColorImageFilter /DCTEncode /AutoFilterColorImages true /ColorImageAutoFilterStrategy /JPEG /ColorACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /ColorImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000ColorACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000ColorImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasGrayImages false /CropGrayImages true /GrayImageMinResolution 300 /GrayImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleGrayImages true /GrayImageDownsampleType /Bicubic /GrayImageResolution 300 /GrayImageDepth -1 /GrayImageMinDownsampleDepth 2 /GrayImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeGrayImages true /GrayImageFilter /DCTEncode /AutoFilterGrayImages true /GrayImageAutoFilterStrategy /JPEG /GrayACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /GrayImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000GrayACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000GrayImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasMonoImages false /CropMonoImages true /MonoImageMinResolution 1200 /MonoImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleMonoImages true /MonoImageDownsampleType /Bicubic /MonoImageResolution 1200 /MonoImageDepth -1 /MonoImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeMonoImages true /MonoImageFilter /CCITTFaxEncode /MonoImageDict << /K -1 >> /AllowPSXObjects false /CheckCompliance [ /None ] /PDFX1aCheck false /PDFX3Check false /PDFXCompliantPDFOnly false /PDFXNoTrimBoxError true /PDFXTrimBoxToMediaBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXSetBleedBoxToMediaBox true /PDFXBleedBoxToTrimBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXOutputIntentProfile () /PDFXOutputConditionIdentifier () /PDFXOutputCondition () /PDFXRegistryName () /PDFXTrapped /False /Description << /CHS /CHT /DAN /DEU /ESP /FRA /ITA /JPN /KOR /NLD (Gebruik deze instellingen om Adobe PDF-documenten te maken voor kwaliteitsafdrukken op desktopprinters en proofers. De gemaakte PDF-documenten kunnen worden geopend met Acrobat en Adobe Reader 5.0 en hoger.) /NOR /PTB /SUO /SVE /ENU (Use these settings to create Adobe PDF documents for quality printing on desktop printers and proofers. Created PDF documents can be opened with Acrobat and Adobe Reader 5.0 and later.) >> /Namespace [ (Adobe) (Common) (1.0) ] /OtherNamespaces [ << /AsReaderSpreads false /CropImagesToFrames true /ErrorControl /WarnAndContinue /FlattenerIgnoreSpreadOverrides false /IncludeGuidesGrids false /IncludeNonPrinting false /IncludeSlug false /Namespace [ (Adobe) (InDesign) (4.0) ] /OmitPlacedBitmaps false /OmitPlacedEPS false /OmitPlacedPDF false /SimulateOverprint /Legacy >> << /AddBleedMarks false /AddColorBars false /AddCropMarks false /AddPageInfo false /AddRegMarks false /ConvertColors /NoConversion /DestinationProfileName () /DestinationProfileSelector /NA /Downsample16BitImages true /FlattenerPreset << /PresetSelector /MediumResolution >> /FormElements false /GenerateStructure true /IncludeBookmarks false /IncludeHyperlinks false /IncludeInteractive false /IncludeLayers false /IncludeProfiles true /MultimediaHandling /UseObjectSettings /Namespace [ (Adobe) (CreativeSuite) (2.0) ] /PDFXOutputIntentProfileSelector /NA /PreserveEditing true /UntaggedCMYKHandling /LeaveUntagged /UntaggedRGBHandling /LeaveUntagged /UseDocumentBleed false >> ] >> setdistillerparams << /HWResolution [2400 2400] /PageSize [612.000 792.000] >> setpagedevice << /ASCII85EncodePages false /AllowTransparency false /AutoPositionEPSFiles true /AutoRotatePages /All /Binding /Left /CalGrayProfile (Dot Gain 20%) /CalRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CalCMYKProfile (U.S. Web Coated \050SWOP\051 v2) /sRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CannotEmbedFontPolicy /Warning /CompatibilityLevel 1.4 /CompressObjects /Tags /CompressPages true /ConvertImagesToIndexed true /PassThroughJPEGImages true /CreateJDFFile false /CreateJobTicket false /DefaultRenderingIntent /Default /DetectBlends true /DetectCurves 0.0000 /ColorConversionStrategy /LeaveColorUnchanged /DoThumbnails false /EmbedAllFonts true /EmbedOpenType false /ParseICCProfilesInComments true /EmbedJobOptions true /DSCReportingLevel 0 /EmitDSCWarnings false /EndPage -1 /ImageMemory 1048576 /LockDistillerParams false /MaxSubsetPct 100 /Optimize true /OPM 1 /ParseDSCComments true /ParseDSCCommentsForDocInfo true /PreserveCopyPage true /PreserveDICMYKValues true /PreserveEPSInfo true /PreserveFlatness true /PreserveHalftoneInfo false /PreserveOPIComments false /PreserveOverprintSettings true /StartPage 1 /SubsetFonts true /TransferFunctionInfo /Apply /UCRandBGInfo /Preserve /UsePrologue false /ColorSettingsFile () /AlwaysEmbed [ true ] /NeverEmbed [ true ] /AntiAliasColorImages false /CropColorImages true /ColorImageMinResolution 300 /ColorImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleColorImages true /ColorImageDownsampleType /Bicubic /ColorImageResolution 300 /ColorImageDepth -1 /ColorImageMinDownsampleDepth 1 /ColorImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeColorImages true /ColorImageFilter /DCTEncode /AutoFilterColorImages true /ColorImageAutoFilterStrategy /JPEG /ColorACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /ColorImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000ColorACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000ColorImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasGrayImages false /CropGrayImages true /GrayImageMinResolution 300 /GrayImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleGrayImages true /GrayImageDownsampleType /Bicubic /GrayImageResolution 300 /GrayImageDepth -1 /GrayImageMinDownsampleDepth 2 /GrayImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeGrayImages true /GrayImageFilter /DCTEncode /AutoFilterGrayImages true /GrayImageAutoFilterStrategy /JPEG /GrayACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /GrayImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000GrayACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000GrayImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasMonoImages false /CropMonoImages true /MonoImageMinResolution 1200 /MonoImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleMonoImages true /MonoImageDownsampleType /Bicubic /MonoImageResolution 1200 /MonoImageDepth -1 /MonoImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeMonoImages true /MonoImageFilter /CCITTFaxEncode /MonoImageDict << /K -1 >> /AllowPSXObjects false /CheckCompliance [ /None ] /PDFX1aCheck false /PDFX3Check false /PDFXCompliantPDFOnly false /PDFXNoTrimBoxError true /PDFXTrimBoxToMediaBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXSetBleedBoxToMediaBox true /PDFXBleedBoxToTrimBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXOutputIntentProfile () /PDFXOutputConditionIdentifier () /PDFXOutputCondition () /PDFXRegistryName () /PDFXTrapped /False /Description << /CHS /CHT /DAN /DEU /ESP /FRA /ITA /JPN /KOR /NLD (Gebruik deze instellingen om Adobe PDF-documenten te maken voor kwaliteitsafdrukken op desktopprinters en proofers. De gemaakte PDF-documenten kunnen worden geopend met Acrobat en Adobe Reader 5.0 en hoger.) /NOR /PTB /SUO /SVE /ENU (Use these settings to create Adobe PDF documents for quality printing on desktop printers and proofers. Created PDF documents can be opened with Acrobat and Adobe Reader 5.0 and later.) >> /Namespace [ (Adobe) (Common) (1.0) ] /OtherNamespaces [ << /AsReaderSpreads false /CropImagesToFrames true /ErrorControl /WarnAndContinue /FlattenerIgnoreSpreadOverrides false /IncludeGuidesGrids false /IncludeNonPrinting false /IncludeSlug false /Namespace [ (Adobe) (InDesign) (4.0) ] /OmitPlacedBitmaps false /OmitPlacedEPS false /OmitPlacedPDF false /SimulateOverprint /Legacy >> << /AddBleedMarks false /AddColorBars false /AddCropMarks false /AddPageInfo false /AddRegMarks false /ConvertColors /NoConversion /DestinationProfileName () /DestinationProfileSelector /NA /Downsample16BitImages true /FlattenerPreset << /PresetSelector /MediumResolution >> /FormElements false /GenerateStructure true /IncludeBookmarks false /IncludeHyperlinks false /IncludeInteractive false /IncludeLayers false /IncludeProfiles true /MultimediaHandling /UseObjectSettings /Namespace [ (Adobe) (CreativeSuite) (2.0) ] /PDFXOutputIntentProfileSelector /NA /PreserveEditing true /UntaggedCMYKHandling /LeaveUntagged /UntaggedRGBHandling /LeaveUntagged /UseDocumentBleed false >> ] >> setdistillerparams << /HWResolution [2400 2400] /PageSize [612.000 792.000] >> setpagedevice << /ASCII85EncodePages false /AllowTransparency false /AutoPositionEPSFiles true /AutoRotatePages /All /Binding /Left /CalGrayProfile (Dot Gain 20%) /CalRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CalCMYKProfile (U.S. Web Coated \050SWOP\051 v2) /sRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CannotEmbedFontPolicy /Warning /CompatibilityLevel 1.4 /CompressObjects /Tags /CompressPages true /ConvertImagesToIndexed true /PassThroughJPEGImages true /CreateJDFFile false /CreateJobTicket false /DefaultRenderingIntent /Default /DetectBlends true /DetectCurves 0.0000 /ColorConversionStrategy /LeaveColorUnchanged /DoThumbnails false /EmbedAllFonts true /EmbedOpenType false /ParseICCProfilesInComments true /EmbedJobOptions true /DSCReportingLevel 0 /EmitDSCWarnings false /EndPage -1 /ImageMemory 1048576 /LockDistillerParams false /MaxSubsetPct 100 /Optimize true /OPM 1 /ParseDSCComments true /ParseDSCCommentsForDocInfo true /PreserveCopyPage true /PreserveDICMYKValues true /PreserveEPSInfo true /PreserveFlatness true /PreserveHalftoneInfo false /PreserveOPIComments false /PreserveOverprintSettings true /StartPage 1 /SubsetFonts true /TransferFunctionInfo /Apply /UCRandBGInfo /Preserve /UsePrologue false /ColorSettingsFile () /AlwaysEmbed [ true ] /NeverEmbed [ true ] /AntiAliasColorImages false /CropColorImages true /ColorImageMinResolution 300 /ColorImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleColorImages true /ColorImageDownsampleType /Bicubic /ColorImageResolution 300 /ColorImageDepth -1 /ColorImageMinDownsampleDepth 1 /ColorImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeColorImages true /ColorImageFilter /DCTEncode /AutoFilterColorImages true /ColorImageAutoFilterStrategy /JPEG /ColorACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /ColorImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000ColorACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000ColorImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasGrayImages false /CropGrayImages true /GrayImageMinResolution 300 /GrayImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleGrayImages true /GrayImageDownsampleType /Bicubic /GrayImageResolution 300 /GrayImageDepth -1 /GrayImageMinDownsampleDepth 2 /GrayImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeGrayImages true /GrayImageFilter /DCTEncode /AutoFilterGrayImages true /GrayImageAutoFilterStrategy /JPEG /GrayACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /GrayImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000GrayACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000GrayImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasMonoImages false /CropMonoImages true /MonoImageMinResolution 1200 /MonoImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleMonoImages true /MonoImageDownsampleType /Bicubic /MonoImageResolution 1200 /MonoImageDepth -1 /MonoImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeMonoImages true /MonoImageFilter /CCITTFaxEncode /MonoImageDict << /K -1 >> /AllowPSXObjects false /CheckCompliance [ /None ] /PDFX1aCheck false /PDFX3Check false /PDFXCompliantPDFOnly false /PDFXNoTrimBoxError true /PDFXTrimBoxToMediaBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXSetBleedBoxToMediaBox true /PDFXBleedBoxToTrimBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXOutputIntentProfile () /PDFXOutputConditionIdentifier () /PDFXOutputCondition () /PDFXRegistryName () /PDFXTrapped /False /Description << /CHS /CHT /DAN /DEU /ESP /FRA /ITA /JPN /KOR /NLD (Gebruik deze instellingen om Adobe PDF-documenten te maken voor kwaliteitsafdrukken op desktopprinters en proofers. De gemaakte PDF-documenten kunnen worden geopend met Acrobat en Adobe Reader 5.0 en hoger.) /NOR /PTB /SUO /SVE /ENU (Use these settings to create Adobe PDF documents for quality printing on desktop printers and proofers. Created PDF documents can be opened with Acrobat and Adobe Reader 5.0 and later.) >> /Namespace [ (Adobe) (Common) (1.0) ] /OtherNamespaces [ << /AsReaderSpreads false /CropImagesToFrames true /ErrorControl /WarnAndContinue /FlattenerIgnoreSpreadOverrides false /IncludeGuidesGrids false /IncludeNonPrinting false /IncludeSlug false /Namespace [ (Adobe) (InDesign) (4.0) ] /OmitPlacedBitmaps false /OmitPlacedEPS false /OmitPlacedPDF false /SimulateOverprint /Legacy >> << /AddBleedMarks false /AddColorBars false /AddCropMarks false /AddPageInfo false /AddRegMarks false /ConvertColors /NoConversion /DestinationProfileName () /DestinationProfileSelector /NA /Downsample16BitImages true /FlattenerPreset << /PresetSelector /MediumResolution >> /FormElements false /GenerateStructure true /IncludeBookmarks false /IncludeHyperlinks false /IncludeInteractive false /IncludeLayers false /IncludeProfiles true /MultimediaHandling /UseObjectSettings /Namespace [ (Adobe) (CreativeSuite) (2.0) ] /PDFXOutputIntentProfileSelector /NA /PreserveEditing true /UntaggedCMYKHandling /LeaveUntagged /UntaggedRGBHandling /LeaveUntagged /UseDocumentBleed false >> ] >> setdistillerparams << /HWResolution [2400 2400] /PageSize [612.000 792.000] >> setpagedevice