I ARTIKEL I FILSAFAT VOLUNTARISME Misnal Munir Stat Pengajar Fakultas Filsatat Universitas Gadjah Mada Filsafat voluntarisme (filsafat kehe'ndak) dalam . literatur sejarah filsafat Barat jarang dibahas dalam konteks suatu aliran. Namun tidak berarti pemikiran tentang kehendak belurn menjadikajian para filosof. Para filosof Barat, seperti So- crates dan Plato, sudah membahasanya sejak Yunani Kuno. Plato menempatkan 'kehendak' sebagai bagian dari jiwa yang disebutnya 'keinginan',yang mempunyai pengendalian diri (sophrosyne), Pemikiran Aristoteles dalam soal ini berhu- bungan dengan konsepnya tentang kebahagiaan. Menu- rutnya, Manusia dapat memperoleh kebahagiaan apa- bila ia menjalankan aktifitasnya dengan baik menu- rut keutamaan (arefe). Hanyapemikiran yang disertai dengan keutamaan (arefe) ya.ng dapat membuat manusia bahagia. PENGANTAR Ajaran kaunl Stoa tentallg kehen- dak di arahkan pada kehendak individual yang bersifat otonOln. Kehendak itu halU~ tnuncul dali dilinya sendiri dan menjadl miliknva sendiri dan tidak pemah dikon- trol oleh individu yang lain.. Tak seoran~ pun memiliki kekuatan yang mengatasl keltendak seseOl"ang, dan kehendak itu JURNAl Fll~AFAT. JUU ·97 nlemiliki kebebasan dan semangat yang beltitik tolak jiwa (Sahakian, 1966:40). Pada masa abad pertengahan filosof yang memJ)erlihatkan tentang peranan kehendak dalam diri manusia adalah Thomas Aquinas. fa mengatakan bahwa ketidak tahuan berakibat pada tindakan kehendak, sejauh ketidal1ahuan itu sendili merupakan kehendak bebas, dan ini teljadi dalam dua cara yang ber- 15 sesuaian dengan cara-cara kehendak. Pertama, sebab tindakan kehendakmem- bawa ke ketidak tahuan, ketika manusia tidak ingin mengetahui sesuatu. kedua ketidak tahuan itu menjadi suatu kehen- dak manakala kehendak itu menjawab sesuatu yang dapat dan hams diketahui (Kaufman, 1965:620). Filosof Perancis Rene Descartes memandang kehendak manusia sebagai sesuatu yang hampir tidak terbatas, jika dibandjJigkan dengan rasio yang melalui berbagai keterbatasan-keterbatasan. la mengatakan bahwa kekuatan kehendak- lah yang memungkinkan manusia memiliki kebebasan, dan dengan kehen- dak itu pula .manusia menembus kebun- tuan pemikiran (Descartes, 1984 : 40 - 41). Kant mengatakan kehendak adalah suatu jenis kausalitas yang termasuk da- lam kehidupan manusia yang bertsifat rasional, dan unsur kebebasan menjadi ciri dari setiap. kausalitas yang bersifat efisien, tidak tergantung pada faktor- faktor penyebab dari luar (Kant, 1986: 279). Filosof yang dengan jelas meletak- kan kedudukan kehendak di atas rasio (aka!) adalah SChopenhauer. Jika filosof sebelumnya (Yunani Kuno dan Abad Per- tengahan) menempatkan kehendak seba- gai pelayan rasio, atau disamakan deng- all rasio, nutka Schopenhauer menem- patkan kehendak di atas rasio. Menurut- nya hakekat manusia tidak terletak pada pemikiran atau rasionya, akan tetapi hakekat manusia itu terletak pada kehen- daknya. Jadi pada hakekatnya manusia itu adalah kehendak (Harun Hadiwiiono II, 1980 : 30). ~ Filosof jaman modern yang juga menempatkan peranan kehendak menga- tasi rasio adal Nietzsche. Jika Scopen- hauer menempatkan kehendak sebagai unsur utama kehidupan, maka bagi Nietzsche kehendak merupakan kekuatan bawah sadar yang mendorol1:& manusia untuk 'berkuasa. Kehendak untuk berkuasa ini menjadi titik pusat filsafat- nya untuk menghancurkan berbazai pandangan filsafat sebelumnya. Ia sangat menekankan bahwa hidup aJalah ke- hendak untuk berkuasa dan itu adalah, JURNAL FILSAFAT, JUU '97 yang lebih hidup. Kehendak, Ulltuk berkuasa ini menurut Nietzsche akan melahirkanmakhluk terbaik sebagai pe- menang dalam perlombaan hidup, sebab kehendak untuk berkuasa adalah doro- ngan hidup yang paling kuat (Copleston, 1975:82). Dengan demikian kehendak dalam pandangan Nietzsche adalah suatu kekuatan yang mendorong manusia un- tuk berkuasa. Kekuatan kehendak di sini tidak hanya mengacu pada kekuatan la- hiriah, sepcrti kek"Uatan otot atau tulang, melainkan daya yang mendorong manusia untuk menaati sesuatu, yaitu kehendak untuk berkuasa (Deleuze, 1986:7). Ricoeur mengembangkan suatu pemahaman baru tentang kehendak yallg disebutllya dengan fenomenologi kehen- dak (Toeti Heraty, 1983 : 183). Ricoeur menggunakan metode fenomenologi Husserl untuk mencari eidos atau hakekat sesuatu. la ingin memberikan suatu 'eldetika'tentang kehendak, suatu -pelukisall tentang eidos kehendak (Beliens, 1985 : 443). Penyelidikan Ri- coeur tentang kehendak ditujukannya untuk menemukan hakekat kebebasan dalam hubunganllya dengan kejahatan. Pandangan Ricreur telltang kehendak berkaitan juga dengan upaya dia Ulltuk menerapkan metode hermeneutika. Her- menutika menurut Ricoeur seluas eksis- tensi dan pengalaman manusia (''aku '? la mempergunakan bermacam-macam uraian tentang kehendak manusia, keja- hatan, simbel, hubungan sosial dalam dunai politik, dan sebagainya (Verhaak, 1992: 79). PENGERTIAN VOLUNTARISME Istilah voluntalisme mellunjuk kepada suatu aliran filsafat yang tokoh- tokohnya berkeyakinan bahwa 'kehen- dak' nlallusia mengatasi akalnya. Kata tkehendak' dalam bahasa Latin adalah voiuntas, Jelman: ltriile, Inggris: urill. Penekanan bahwa kehidupan manusia didominasi oleh 'kehendak' mel'umbulkall aliran filsafat voluntalisme (Ali-Mudha- fir, 1988:100-101). Para filosof yang tergabung dalam 16 aliran ini 'berkeyakinan bahwa manusia dalam hidupnya tidak dikuasasi oleh ra- sio atau akal --sebagaimana yang diya- kinioleh kaum rasionalis-- melainkan oleh kehendak, kemauan, atau disebut juga dengan nafsu. Dinamika perkem- bangan sejarah kehidupan manusia di- dorong kehendak yang kuat, sehingga manusia senantiasa mengalami kemajuan dalam segala aspek kehidupannya. Para penganut aliran filsafat Vol- untarisme fllembelikan tekanan yang berbeda tentang peran dan pengaruh ke- hendak bagi kehidupan manusia. Kehen- dak menurut penganut voluntarisme merupakan unsur yang dominan dalam mengatur tindakan manusia. Jika kaum rasionalis atau intelektualis mengatakan bahwa akal manusia merupakan faktor dominan dalam tindakan manusia, maka kaum voluntaris berkeyakinan bahwa segala aspek kegiatan manusia didorong oleh kehendaknya. Kehendak merupakan hakekat manusia itu sendiri, hal ini ber- beda dengan kaum rasionalis yang ber- pendapat bahwa akal yang tampakdalam proses. berpikir merupakan hakekat manUSla. Aliran voluntarisme biasanya dila- wankan dengan intelek.walisme atau ra- sionalisme. Illtelektualisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa rasio atauakal mallusia lebih menentukan tin- dakan manusia dibandingkan dengan ke- hendak. Voluntalisme ~rpandangan se- baliknya, kehendaklah yang menguasai akal atau rasio manusia. Kehendak me- nurut J?enzanut aliran voluntati.sme Inerupakan unsur pokok yang menguasai mallusia, manusia tanpa kehendak tidak akan pernah mengalami perkembangan. BERBAGAI PANDANGAN TENTANG KEHENDAK DALAM FlLSAFAT BARAT A. Plato (427-347 SM Filosof yang secara eksplisit meln- baMs peranan kehendak dalam dili lnanusia pada masa Yunani Kuno ialah Plato. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia itu· terdil; atas riga bagian atau lapisan. Peruuna disebutnya akal atau ra- sio, yaitu bagian jiwa yang tertinggi. Akal JURNAL fllS"AFAT. JUU 697 atau rasio ini disebut juga bagian ra- sional. Bagian rasi0nal ini merupakan unsur yang memimpin seluruhaktivitas manusia. Bagian rasional oleh Plato di- ibaratkan seperti sais yang mengen- dalikan kuda dalam suatu rangkaian kel~ta. Kedua, disebut kehendak, kehen- dak menurot Plato merupakan alat bagi akal atau rasio. Kehendak olehPlato di- ibaratkan seperti seekor kuda yang me- nrik gerobak atau pedati. Plato menga- takan bahwa di dalam kehendak ini ber- semayam perasaan-perasaan yang lebih tinggi, seperti: keberanian, gila hormat, kemarahan, yang adil, dan sebagainya. Ketiga, merupakan tempat bersemayam- nya nafsu-nafsu liar atau nafsu kebi- natangan manusia yang harus diatur oleh akal atau rasio (Harun-Hadiwijono I, 1980:43). Dalam filsafat Plato ini kehen- dak ditempat kedudukannya dibawah akal atau rasio manusia. Attinya dalam dili. manusia yang 1Jerperanan adalah rasionya atau akalnya, sedangkan kehen- dak mell.lpakan pelayan dati. akal atau rasio. B.Aristoteles (384-322SM) Ali.stoteles, sebagaimana halnya dengan Plato, juga menempatkan kehen- dak sebagai bagian dari unsur ke- manusiaan. Berbeda dengan Plato yang membagi jiwa manusia dalam tiga bagian, maka Ati.stoteles membaginya menjadi dua bagian. Pemikiran Aristo- teles tentang kehendak dapat ditemukan dalam penlbicaraan tentang keba- hagiaan. Menurutnya manusia dapat memperoleh kebahagiaan apabila ia menjalankan aktifitasnya dengan baik. Artin)Ta supaya manusia bahagia iaharus menjalankan aktivitasnya menul'Ut keu- tanlaan (arefe). Hanya pemikiran yang disettai dengan keutamaan (arete) yang dapat membuat manusia bahazia. Keu- tarnaan itu tidak hanya menyangkut 1"a- sio, akan tempi juga manusia seluruhnya. Manusia bukan saja merupakan makh- luk intelektual, melainkan juga makhluk yang lllenlpunyai perasaall-perasaan, kinginan-keinginan, nafsu-nafsudan lain sebagainya (BeltellS, 1975:161). Dengan 17 demikian dari pemikiran Arsitolteles ini kehendak mencakup perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, nafsu-nafsu itu. Kehendak inilah yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tin- dakan dalam hidupnya . Oleh karena itu Aristoteles membagi keutamaan itu menjadi dua macam, yaitu; keutamaan intelek.iuil dan keutamaan moril. Keu- tamaan intelektui! bersumber dari rasio, sedangkan keutamaan moril bersumber dari kehendak manusia. Namun demikian Aristoteles tampaknya tetap meletakkan keutamaan intelek.iuil seba- gai keutamaan teltinggi yang mem- bimbing keutamaan mori!. C. Thomas Aquinas (1225-1274). Filosof yang agak terang membi- earakan kehendak dalam filsafat abad Pertengahan adalah Thomas Aquinas. Aquinas mengatakan bahwa dalam diri manusia itu terdapat unsur berpikir dan berkehendak yang melandasi setiap per- buatanya. Kedua hal ini menyatu dalam jiwa manusia sebagai kesatuan yang ti- dak dapat dipisahkan. Oleh karena itu kesatuan manusia ini mengandaikan bahwa tubuh manusia hanya dijiwai oleh satu bentuk saja, yaitu; bentuk rohani. Rohani ini dalam din manusia memben- tuk hidup lahiriah sekaligus juga hidup batiniah (Harun Hadiwijono I, 1980:110- 111). Dengan demikian dalam filsafat Thomas Aquinas jiwa adalah satu dengan tubuh dan sekaligus menjiwai tubuh. Jiwa dan tubuh dalam diri manusia tidak terpisah akan tetapi dapat dibedakan menurut fungsinya. Berdasarkan pemikiran bahwa jiwa itu menjadi satu dengan tubuh, maka Thomas Aquinas dalam melihat unsur- unsur dalam diri manusia itu juga belti- tik tolak dan pengandaian bahwa jiwa lebih berperanan dalam diri manusia. Aquinas menegaskan bahwa jiwa itu memiliki 5 daya jiwani, yaitu; (1) daya jiwani vegetatip yang bersangkutan de- ngan pel'8antian zat dengan pembiakan; (2) daya jiwani yang sensitip adAlah daya jiwani yang bersangkutan dengan JURNAL FIL)AFAT, JULI '97 keinginan; (3) daya jiwani yang meng- gerakkan; (4) daya jiwani untuk memikir dan (5) daya jiwani unttlk me l1genal (Harun Hadiwijono I, 1980:112). Daya memikir dan mengenal terdiri dali akal dan kehendak. Akal adalah daya yang teltinggi dan termulia yang lebih penting dari kehendak. Bagi Thomas Aquinas yang benar lebih tinggi daripada yang baik. Mengenal adalah perbuatan yang lebih sempurna dibandingkan dengan menghendaki. Uraian di atas semakin mengu- kuhkan pendapat bahwa pemahaman para filsof tentang kehendak sejak Yu- nani Kuno sampai Abad Pertengahan disubordinasi dibawah akal atau rasio. Pandangan yang menempatkan kehendak dibawah rasio atau akal masih berlanjut sampai jaman Modern dengan kemun- culan ali ran rasionalisme. D. Rene Descartes 0596-1650). Pemikiran Filsafat Bared, terutama sejak dikemukakannya tesis "Cogito ergo sum" oleh Descartes, realitas dunia hanya difahami sebagai bagian dari ide (gagasan) manusia. Altinya dunia dikuasai dan dikendalikan oleh ide atau gagasan. Cara pandang seperti itu se- makin jelas pada filosof idealisme stulat dari rasio praktis. Pendapat Kant ini ditulisnya da- lam buku Kritik der Praktischen Ver- nunft (Kritik atas rasio Pral1is).Kritik atas rasio praktis ini hendak menjawab pertanyaanapa yang dapat saya perbuat. Pertanyaan Kant ini dimaksudkannya untuk mencari jawaban dan menjelaskan dasar-dasar kaidah tindakan manusia. Dasar-dasar kaidah tindakan manusia itu oleh Kant dibedakan sebagai berikut. (1) Maksim-maksim; kaidah-kaidah yang berlaku subjel'tif. (2) Undang-undang; kaidah-kaidah yang berlaku secara umum, objek.'tif. (3) Imperatif hipotetis; yang berlaku secara umumsebagai syarat untuk mencapai sesuatu. (4) Im- pertatif kategoli.s; kaidah yang berlaku secara umum, selaiu dan dimana-mana (Hamersma, 1983:32-33). Kaidah yang paling memadai untuk menzatur norma-norma Moral menurut Kant adalah Imperatif kategoris. Kant mengatakan bahwa kaidah imperatif kategolis sebagai dasar perbuatan manusia dalam berbuat baik tidak ditentukan oleh alasan-alasan rasional, akan tetapi ditentukan olehperbuatan baik itu senditi. Akan tetapi hal ini menimbulkan masalah karena di dunia kebaikan moral sering tidak menghasil- kan kebahagian. Pada haJ tujuan utama moral atau etika adalah kebaikan, kebai- kan harus menghasilkan kebahagiall sempurna. Oleh karena itu Kant menge- mukakan adanya tiga postulat, yaitu tiga syarat atau tuntutan yang memungkinan teljalinnya hubungan antara kebaikan moral dan kebahagian sempurna. Postu- lat sebagai dasar bagi kebaikan moral dan kebahagian sempurna itu ialah: (1) kebebasan kehendak, (2) keabadian jiwa, (3) adanya Tuhan (Hamersma, 1983:33). Di antara tiga JX>stulat di atas, ke- bebasan kehendak merupakan syarat mutlak bagi perbuatan yang berdasarkan imperatif kategoli.s. Sebab, seseorang ti- dak mungkin dituntut tanggung jawab- nya jika ia tidak memiliki kebebasan ke- hendak dalam melakukan suatu perbuat- an moral. 19 G. Schopenhauer Schopenhauer (1956:4) menga~ takan bahwa kalau kita menerima dunia hanya semata~mata sebagai ide, maka ini merupakan pandangan sepihak yang di- timbulkan oleh abstraksi sewenang- wenang. Padahal kesadaran hanya meru ~ pakan sebagian dari hakikat manusia. Bagian hakikat manusia yang lain itu ialah 'kehendak'. Schopenhauer mengidentikkan kehendak dengan se- suatu dalam dirinya. Kehendak menurut- nya adalah .dorongan, insting, kepenting- an, hasrat, dan emosi. Dalam setiap pe- ngalaman hidup manusia, subjek dan objek bukan merupakan hal yang terpisah sebagaimana hal-hal yang lain- nya (Parker, 1956:xvi). Seluruh kehen- dak berasal dari keinginan yang tumbuh dari penderitaan manusia (Sahakian, 1966:48). Dalamdiri manusia pikiran- pikiran (I'asio) hanya merupakan lapisan atas dari hakikat manusia. Watak manusia di tentukan oleh kehendaknya. Kehendak tidak mengenal lelah, karena terjadi tanpa kesadaI'an, seperti halnya dengan jalannya jantung, pernafasan yang beraktifitas tanpa perlu kita pikirkan. Lebih jauh Schopenhauel' juga menjelaskan bahwa kehendak itu tidak hanya menjadi pendorong bagi manusia, akan tetapi kehendak juga menjadi daya pendorong didalam seluruh dunia, yaitu sebagai kehendak dunia. Kehendak dunia juga berkembang dari yang tak sadar ke yang sadar. Demikianlah kehendak menampakkan diri sebagai asas dunia. Disini kehendak seolah-olah berperan sebagai daya hidup dalam dunia, kehen~ daklah yang menghidupi dunia dan menjadi motor penggerak perkembangan dunia dan manusia. Oleh karena itu ke~ hendak pada Schopenhauer menjadi daya pendorong hidup segala hal, sehingga pengertian kehendak diletakkan sebagai kehendak untuk hidup (WJ11e zur LebeI1). Berdasarkan landasan metafisik da- lam filsafat Schopenhauer da:pat ditarik kesimpulan bahwa hakikat manusia tidak terletak pada pemikiI'an, kesadaran atau rasio, melainkan pada kehendaknya. Ke~ hendak sebagai hakikat terdalam di da~ lam diri manusia menjadi daya pen~ JURNAL fIL)AfAT. JULl '97 dorong seluruh aktivitas kehidupannya. Kehendak sebagai daya pendorong itu menampilkan diri sebagai kehendak yang lebih tinggi dan kehendak yang lebih rendah. Kehendak yang lebih tinggi tam- pak dalam proses berpikir yang mela ~ hirkan gagasan~gagasan tentang dunia. Kehendak yang tampil sebagai kehendak yang lebih rendah tampak dalam per- buatan tubuh yang dapat diamati. Ak- tivitas tubuh adalah peI'buatan kehendak yang telah diperagakan, yang telah diob- jetivir dalam luang dan wa1.w (Harun Hadiwijono II, 1980:106). Kehendak sebagai hakikat manusia tidak hanya berperan sebagai penggerak sehingga manusia mampu bertindak dan berpikir, akan tetapi juga menjadi peng~ gerak unsur elementer dalam tubuhnya. Kehendak sebagai penggerak elementer berkembang dali keadaan yang tak sadar (yang tampak pada alam anorganis) menuju keadaan yang setengah sadar (alam Ol'Sanis) untuk seterusnya menam~ pakkan dili dalam kesadaran penuh pada manusia (kemampuan berpikiI'). Segala gejala atau penampakan yang mengelilingi manusia dalam ruang dan waktu hams dipandang sebagai penjel- maan kehendak. Artinya hidup atau dunia fenomena adalah cerminan atau bayang-bayang dari kehendak. Kehendak dan hidup ibarat badan dengan bayang~ bayangnya, sehingga dapat dikatakan di mana ada kehendak, di sana mestilah ada hidup, yang dapay dilingkas menjadi "kehendak untuk hidup" (Schopenhauer, 1956:4). Kehendak yang paling nyata dalam hidup manusia adalah keinginan untuk melangsungkan ketumnan (Hamersma, 1983:61). Bagi Schopenhauer yang men~ dorong manusia untuk kawin adalah ke~ hendak yang menampak pada cinta kasih antar jenis (laki ~laki dengan perempuan). Saling jatuh cinta laki-Iaki dan perem- puan itu didorong oleh kehendak untuk hidup agar spesiesnya tidak punah (Schopenhauer, 1956:190). Saling jatuh cinta yang didorong oleh kehendak ini juga berlaku dalam dunia tumbuh-tum- buhan dan binatang. Pada umumnya setiap orang mencintai unsur-unsur yang QO ia sendiri tidak memilikinya. Hal ini ber- alii kehendak alam mencoba untuk 'mengoreksi' atau saling melengkapi keti- dak sempurnaan genetis dari suatu part- ner atau pasangan melalui perkawinan. H. Nietzsche Senada dengan Schopenhauer yang mengatakan kehendaklah yang menjadi pendorong al.1ivitas manusia, Nietzsche juga menegaskan bahwa manusia dalam hidupnya dikuasai oleh kehendak. Be- danya, jika Schopenhauer mengatakan bahwa kehendak sebagai daya pen- dorong untuk hidup, maka Nietzsche menegaskan kehendak itu sebagai pen- dorong untuk berkuasa (Sudiardja, 1982:9). Kehendak untuk berkuasa (wille zur n18cht) ini terutama ditujukan Nietzsche untuk melepaskan diri dali segala kekuasaan yang melingkupi manusia selama ini. Dengan kehendak untuk berkuasa ini Nietzsche meniada- kan segala pribadi yang lebih berkuasa dali rnanusia, termasuk kekuasaan Tuban atas manusia. Dengan kehendak untuk berl.'UaSa inilah manusia dapat menjadi manusia unggul (Uebemlensch). Kehendak untuk berkuasa hanya dapat diperoleh dengan kekuatan dan ke- mampuan sendiri. Sasaran akhir dari ke- hendak untuk berklJasa ini bagi Nietzsche adalah tercapainya tingkat manusia unggul. Tingkat manusia unggul ini hanya mungkin jika tidak ada kekuasaan di atas manusia, yaitu Tuhan, oleh karena itu manusia harus menya- takan bahwa Tuhan telah mati (Nietzsche, 1905:6).. Untuk mencapai tingkat manusia unggul diperlukan waktu yang panjang dan bel1ahap yang didukung oleh dorongan kehendak yang terns menerus. Agar cita-cita menjadi manusia unggul itu tercapai, manusia haruslah berikhtiar dan merealisasikan diri secara terus menerus melampaui dirinya, dan. selalu berpikir bahwa manusia bukanlah sesuatu yang sudah selesai. Manusia unggul itu diciptakan sendiri oleh dilinya, dengan membangun kemampuan cipta dan keunggulannya. Basi Nietzsche siapapun yang hen- dak mef\ladi pencipta, ia haruslah men- JURNAl f'L~Af-AT. JUU "97 jadi pemusnah dan pendobrak nilai-nilai (Chairul Arifin, 1978:59). Setiap nilai baru yang dibuatoleh. manusia harus da- pat memberikan arah yang berangkat dari kekurangannya sendiri menuju ke tingkatan yang lebih tinggi. Untuk mewujudkan itu diperlukan kekuat- an,kecerdasan dan kebanggan pada diri sendiri. Dengan demikian ·manusia un- &gul hanya dapat ditumbuhkan oleh ga- bungan tiga hal, yaitu; kekuatan, kecer- dasan dan kebanggaan. Manusia unggul akan tercapai herdasarkan kemampuan individu itu sendiri. Manusia unggul adalah mereka yang dengan kekuatannya dapat mengatasi l."Umpulan-kumpulan manusia dalam massa, atau manusia yang dapat menguasai manusia lainnya. I. Paul Ricouer Pada abad ke-20, kehendak sebagai suatu kalian khusus dibahas oleh Paul Ricouer ~ (1913- ...). Ricouer mengem- bangkan suatu pemahaman balu tentang pengertian kehendak yang disebutnya dengan fenomenologi kehendak. Erazinl 'v Kohak dalam kata pengantar edisi Ing- gelis buku Ricour mengatakan bahwa arah filsafat kehendak dalam pandangan Ricouer dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: (1) eidetik, aliinya kehendak yang disebabkan tugasnya sebagai suatu desklipsi fenomenologis tentang hakekat, yakni struk.1l1r keberadaan manusia di dalam duma. (2) empilik, altinya kehen- dak yang di arahkan untuk nlenggam- barkan tugas refleksi yang menggerak- kan kembali aspek eidetik. (3) poetik, artinya kehendak yang dipergunakan untuk analisis secara intensif terhadap visi kemanusiaan dali aspek penjelasan elnpirik (Ricoeur, 1984:xvi). Fenomena kehendak menurut deskripsi eidetik membedakan suatu tin- dakan atau kegiatan kehendak menurut tiga gerak yang dikehendaki (voJunfalY), yaitu; (1) aklJ menentukall; (2) aku menggerakkan tubuh; (3) ak'U menyetu- jui (foeti Heraty, 1984:183). Ketiga hal ini ditunjang oleh kegiatan kehendak. Setiap gerakan kehendak ini juga nlem- punyai pasangan bukan-kehendak (inITolunfary) masing-masing, dalaln arti bahwa bukan-kehendak menjadi latar belakang sebab bagi kehendak dan se- baliknya kehendak memberi fokus kepada bukan kehendak, selalu ada hubungan timbal balik antal'a yang dike- hendaki dengan yang tidak dikehendaki (Bettens,1985:443). Pertentangan antara yang dikehen- daki (volunflJry) dengan yang bukan- dikehendaki (involuntary) dapat dipe- cahkan manusia menurut dua ke- mungkinan, ialah bahwa ia mengg«::rak- kan kehendak ke arah h'ansendensi menuju Tuhan, atau dapat pula sampai pacta kegagalan kehendak yang disebut dengan dosa. Demikianlah antara kedua kutub fenomenologi kehendak manusia pada satu pihak memiliki kemerdekaan, sedangkan di lain pihak manusia dibatasi oleh alamnya. Kedudukan manusia di antara kedua l.:utub tersebut menggam- barkan, bahwa pada kehendak selalu ada faktor bukan-kehendak dalam berbagai bentuk (Tuti Heraty, 1984:191). Manusia dengan kehendak itu bebas mengek- spresikan dirinya, sementara itu dilain pihak ternyata dalam hidupnya manusia sering berbuat sesuatu di luar kehen- daknya. BENTUK-BENTUK ALIRAN FILSAFAT VOLUNTARISME Richard Taylor secal'a galis besar membagi ali ran filsafat voluntarisme menjadi empat bentuk, yaitu: (1) Psycho- logical voluntarism, aliran ini berpenda- pat bahwa akal berada dibawah kehen- dak; (2) Ethical voluntarism, menurut aliran ini perbuatan baik atau buruk di- dorong oleh kehendak manusia; (3) Theological voluntarism, adalah teori yang menggambarkan keunggulan ke- hendak manusia atas akalnya, kemudian konsepsi teologis yang menggambarkan keunggulan kehendak Illahi atas kehen- dak manusia; (4) Memphisycal voluntar- ism, suatu pandangan yang menekankan pentingnya konsep kehendak untuk me- mahami problem-problem hukum, etika, dan tingkah laku manusia pada umum- nya (Taylor, 1966:270-272). Alil'an fil- safat voluntarisme, selain yang dikemu- kakan Taylor adalah voluntarisme JURNAl fll~AfAT. JULI '97 fenomenologis, yaitu suatu upaya untuk memahami kehendak melalui metooe fenomenologi (Bettens, 1985:443). Berdasarkan bentuk-bentuk aliran tersebut di atas, maka suIit untuk me- nempatkan secara pasti kedudukan seorang filosof ke dalam salah satu alir- an. Kesulitan itu terutama disebabkan oleh Iuasnya pembahasan para filosof tentang peranan kehendak dalam diri manusia. Seorang filosof kadangkala membicarakan berbagai dimensi yang sekaligus dapat dimasukkan ke dalam kategoli aliran-aliran tersebut. A.Voluntarisme Psikologis Filosof yang terrnasuk dalam aliran voluntarisme psikologis adalah Nietzsche. Kehendak untuk berk-uasa pada filsafat Nietzsche tidak memiliki akar metafisik, ungkapan Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa semata-mata didorong oleh emosi psikis, yakni ketidakber- dayaan yang dialaminya sejak ked!. Se- lain itu, kemuakannya terhadap berbagai nilai, norma, aturan main yang mengikat dirinya, yang dianggapnya sebagai sik- saan, merupakan fa1'1or pendorong bagi Nietzsche untuk membangun suatu kekuatan. Sasaran akhir kehendak untuk berkuasa pada Nietzsche adalah untuk membangun manusia unggul yang men gahancurkan berbagai nilai-nilai yang selama ,ini berla1-u. B. Voluntarisme Etis Filosof yang termasuk ke dalam ali- ran filsafat voluntalisme etis ada be- berapa orang, antal'a lain Plato, Kant, dan Schopenhauer. Bagi Plato dan Kant, ke- hendak adalah kekuatan yang men- dorong manusia melakukan tindakan- tindakan, baik tindak dalam bentuk per- buatan baik maupun yang buruk. Bagi Schopenhauer kekuatan kehendak yang tidak terbatas, sementara sarana untuk memenuhinya terbatas, melahirkan suatu filsafat moral yang didasarkannya pada moral Budhisme. Moral Budhisme ini dipakai untuk menekan seminirnal mung kin gejolak kehendak manusia. C. Voluntarisme Theologis Filosof yang termasuk aliran filsafat voluntarisme teologis adalah Paul Ri- couer. Ia mengatakan ada sesuatu yang dapat dikehendaki manusia dan sesuatu yang di luar kehendaknya. Penelusuran Ricouer terhadap~ yang dikehendaki dan tidak-dikehendaki menggirinya ke suatu pemahaman tentang rmsteri kejahatan. Ricouer juga termasuk aliran voluntar- isme fenomenologis. Kehendakdi dalam diri manusia oleh Ricouer di selidiki de- ngan menerapkan metode fonomelogi. D. Voluntarisme Metafisik Filosof-filosof yang termasuk ke dalam aliran filsafat voluntarisme metafisis antara lain: (1) Maine de Biran yang mengemukakan pendapat yang ber- beda de~an Descartes. Jika Descartes menegaskan bahwa substansi pokok itu adalah 'al"U yang berpikir', atau ak."U ada karena berplkir, maka Maine de Biran justru mengatakal!nya dengan 'aku yang berkehendak', arttnya aku ada karena berkehendak. (2) Schopenhauer, filosof modern yang bersungguh meletakkan hakikat manusia bahkan alam semesta pada kehendak. Kehendak bagi Schopen- hauer adalah inti dati segala realitas, tumbuhan, hewan,manusia atau alam seluruhnya lahir, tumbuh; berkemabang karena dorongan kehendaK. Bentuk-bentuk ali ran filsafat vo- luntarisme juga dapat diklasifikasikan berdasarkan Slkap mereka memandang akibat-akibat peranan kehendak pada manusia. Bagi filosof yang melihat ke- hendak sebagai sumber penderitaan, se- pelti Schopenhauer, dapat disebut vo- luntarisme pesimistik. Fllosof yang me- nempatkan kehendak sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita manusia, seperti Nietzsche dengan manusia ung- gulnya, maka ~ni dap~t .di~tegorilcin sebagal voluntarlsme opnnusnk. KESIMPULAN Berdasarkan uraian yan$ telah di- paparkan, maka dapatlah d.lsimpulkan hal-hal sebagai belikut: 1. Pembicaraan tentallS kehendak telah terdapat pada penlikiran filosof \"u- nani Kuno. Kehendak dalam filsafat Yu- nani kruno sebagai bagian dan iiwa yang memberikan daya dorong bagi manusia untuk beltindak. Tindakan ntanusia yang didorong oleh kehendak ini dikontrol JURNAL fIL)AFAT. JUU '97 oleh rasio dan akalnya agar kehendak itu tidak menyengsarakan hidup manusia. Sebab, kebajikan tertinggi dalam hidup inimenulut mereka adalah pengetahuan. Dengan pengetahuan manuslaakan mendapatkan kebahagiaan. 2. Filosof abad tengah mengiden- tikkan kehendak ini de~an rasio. Antara rasio dan kehendak tidakdapat dipisahkan ·akan tetapi keduanyadapat dibedakan melalui pengungkapan dalam kehidupan manusia. Rasio akan tampak dalam aktifitas intelektual seda~kan ke- hendak menampakkan diri dalam ak'1i- fitas etik atau prak.'1is. 3. Penukiran tentang kehendak mendapatkan tempatyang lebih dominan adalah dalam filsafat Schopenhauer .dan Nietszche. Keduanya sependapat bahwa hakekat manusia itu adalah kehendak. Akan tetapi bagi Schopellhauerkehendak adalah untuk hidup, maka bagi nietzsche kehendak adalah untuk berkuasa menuju manusia unggul. 4. Dalam abad ke-20 pengertian kehendak pada Ricoeur dilawankan de- ~an yang bukan-kehendak. Baginya da- lam diri manusia itu yang akan tampak dalam rerbuatannya ada hal-hal yang dapat dlkehandaki dan ada hal-hal yang tidak dikehendaki. Pada kehendak terda- pat dua kutub, yaitu; kehendak di satu pihak dan kegagalan kehendak dipihak lain. 5. Secara galis besar ada empat bentuk ali ran filsafat voluntarisme i yaltu; (1) voluntarisme psikol<;>gis; (2) vo untar- isme etis; (3) voluntarisme teologis; (4) voluntarisme metafisis; (5) voluntarisme fenomenologis; (6) voluntarisme pesimis- tik; (7) voluntaristne optimistik. DAITAR PUSfAKA Ali-Mudhafir, 1988, Kall1US Teori dall A/ira.n dala.m Fi/safat, Libert)T, '''ogyakarta. Bakker, Anton, 1992, Ontologi alau Mela.fisika Ull1UJ11, Kanisius, \'ogyakalta. Beltens, K., 1975, ,,')ejaraJl Filsafat lll- nal1i; da.ri TJlaJes ke Aristoteles, Kanisius, Yogyakarta. Beliens, K., 1985, Sc;iarall Fi/safat B{iraf 23 Abad XX, jilid II, PT Gramedia, Ja- kal1:a. Chairul-Amin, 1978, Kehendak Untuk Berkuasa Friedriech Wilhelm Nietzsche, Erlangga, Jakal1:a. Copleston, F.,1975, Fiidriech Nietzsche Philosopher of Culture, Barnes & Noble Book, New York. Deleuze, Gilles, 1986, Nietzsche and Phi- losophy, Translated from Germany by Hugh Tomlison, The Athlone Press, Lundon. Descartes, Rene, 1984, Meditations on First Philosphy, Translated from French by John Cottonghan, Cam- bridge University Press, Cambridge. Hammersma, Harry, 1983, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Kanisius, Yogyakal1:a. Harun-Hadiwijono, 1980, Sejarah Fi1safat Bal"'llt I, Kaninisius, Yogyakarta. Harun-Hadiwijono, 1980, Sejarah Filsafat Barat II, Kanisius, Yogyakal1:a. Kant, Immanuel, 1986, The Critique of Practical Keason, Translated uum Germany by Tohomas Kingsmill Abbott, Encyclopedia Britanica, Inc. Chicago. Kaufman, Walter, 1965, PJu1osophic Classics: 11lales to St. 11lomas, Prentice Hall, Inc., New Jersey. Lorens Bagus, 1996, KBmus Filsafat, PT. Gramedia Utama, Jakalta. Nietzsche, F.W., 1905, 11lus Spoke 2arathustra, Translated ti'Um Ger- many by Thomas Common, the Modern Library, New york. Parker, DeWitt H., (ed) 1956, Schopen- hauer Selections, Charles Sclibner's Sons, New York. Ricoeur, Paul, 1984, Freedom and Na- ture: 711e Voluntary and the Invol- untary, Translated from French by Erazim V. Kohak, Northwestern University Press, Boston. Sahakian, William S., & Mabel Lewis Sa- hakian, 1966, Ideas of 711e Great Philosophers, Barnes & Noble Books, New York. Sudiardja, A., 1982, "Pergulatan Manusia Dengan Allah Dalam AntropolO$i Nietzsche", dalam: Sastrapratedja (ed) , Mal1Usia Multi Dimensional, JURNAl. Fll)AfAT. JULI '97 Gramedia, Jakal1:a. Taylor, Richard, 1967, "Voluntalism", da- lam: Paul Edwards (eds), 71re Ency- clopedia of Philosophy, The Mac- millan Company & The Free Press, New York. Toeti-Heraty, 1984, Aku dalam Budaya, 1983, Pustaka Jaya, Jakalta. Verhaak, C., 1992, "Aliran Hermeneutik: Bergumul dengan Penafsiran", da- lam: FX. Mudji Shisno & F. Budi Hardiman (eds) , Para Filsuf Penentu Gerak zaman, Kanisius, Yogyakarta. '24